Ilustrasi sidang paripurna DPR RI (Kompas.com) |
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati revisi terbatas atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada menjadi UU pada rapat paripurna Selasa (17/2) lalu. Dengan selesainya revisi tersebut sekaligus menepis kekhawatiran publik akan mundurnya pelaksanaan Pilkada karena DPR gagal mencapai kesepakatan poin-poin yang direvisi. Hal tersebut cukup beralasan mengingat sebagian fraksi masih berbeda pendapat terkait dengan beberapa poin, sementara masa sidang kedua hampir berakhir.
Pengesahan revisi UU Pilkada juga telah menjadi polemik berbulan-bulan
sejak pertengahan 2014 lalu. Polemik tersebut diawali dari disahkannya
UU Nomor 22 tahun 2014 tentang Pilkada oleh DPR periode 2009-2014 yang
mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pengesahan UU
tersebut langsung menjadi perhatian publik dan memunculkan pro dan
kontra di masyarakat. Kemudian Presiden SBY saat itu mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengembalikan
Pilkada langsung. Meskipun akhirnya Perppu tersebut diterima DPR
menjadi UU, tetapi seluruh fraksi menghendaki untuk direvisi secara
terbatas.
Poin kedua yang cukup signifikan adalah batas minimal partai politik
atau gabungan partai politik untuk dapat mendaftarkan pasangan calon.
Ketentuan yang baru adalah jika partai politik atau gabungan partai
politik telah memenuhi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPRD atau
25% dari akumulasi perolehan suara sah pada Pemilu terakhir anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan. Ketentuan tersebut lebih lebih tinggi
dari ketentuan UU Nomor 32 tahun 2014 yang hanya mensyaratkan 15% dari
kursi di DPRD dan akumulasi perolehan suara sah. Selain itu, aturan yang
baru juga menentukan bahwa pengajuan pasangan calon juga berlaku hanya
bagi partai politik yang memperoleh kursi di DPRD setempat, sedangkan
parpol yang tidak memperoleh kursi di DPRD tidak dapat mendaftarkan
pasangan calon.
Jika peraturan tersebut diterapkan di
Kabupaten Banyumas, artinya hanya sembilan partai politik yang dapat
mendaftarkan pasangan calon, yaitu Partai NasDem, PKB, PKS,
PDI-Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN,
dan PPP. Adapun Partai Hanura, PBB dan PKPI tidak dapat mendaftarkan
pasangan calon.
Dari partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon, praktis hanya PDI-Perjuangan yang dapat mendaftarkan pasangan calon tanpa perlu bergabung dengan partai lainnya, karena pada Pemilu 2014 lalu telah mengantongi jumlah persetase 32% dari jumlah kursi di DPRD Kabupaten Banyumas maupun jumlah perolehan suara sah. Sementara partai politik lainnya harus bergabung untuk dapat mendaftarkan pasangan calon, pasalnya perolehan kursi dan suara sah mereka kurang dari 20% dan 25%.
Dari partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon, praktis hanya PDI-Perjuangan yang dapat mendaftarkan pasangan calon tanpa perlu bergabung dengan partai lainnya, karena pada Pemilu 2014 lalu telah mengantongi jumlah persetase 32% dari jumlah kursi di DPRD Kabupaten Banyumas maupun jumlah perolehan suara sah. Sementara partai politik lainnya harus bergabung untuk dapat mendaftarkan pasangan calon, pasalnya perolehan kursi dan suara sah mereka kurang dari 20% dan 25%.
Persyaratan pasangan
calon dari jalur perseorangan dalam revisi UU Nomor 1 tahun 2015 juga
lebih berat dari sebelumnya, mengingat pembuat UU menaikkan persentase
minimal dukungan. Pada UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 1 tahun 2015
pasangan calon dari jalur perseorangan dapat mendaftarkan diri jika
memiliki dukungan minimal 3% dinaikkan menjadi 6,5 persen, bagi
kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa,
misalnya. Hal tersebut tentu sangat memberatkan.
Sebagai contoh, di Kabupaten Banyumas yang memiliki jumlah penduduk 1.605.579 (Data tahun 2013 menurut data Kantor BPS Kabupaten Banyumas) bakal pasangan calon perseorangan harus mengumpulkan minimal 104.363 dukungan, jauh lebih besar dari batas minimal dukungan calon perseorangan pada Pilkada 2013 lalu, yang hanya sebesar 56.183 dukungan.
Sebagai contoh, di Kabupaten Banyumas yang memiliki jumlah penduduk 1.605.579 (Data tahun 2013 menurut data Kantor BPS Kabupaten Banyumas) bakal pasangan calon perseorangan harus mengumpulkan minimal 104.363 dukungan, jauh lebih besar dari batas minimal dukungan calon perseorangan pada Pilkada 2013 lalu, yang hanya sebesar 56.183 dukungan.
Ilustrasi Aksi Unjuk Rasa di Depan Gedung DPR, Jakarta (Republika) |
Pilkada Serentak Mulai 2027
Ketiga, selain dikembalikannya sistem paket, revisi UU Nomor 1 tahun 2015 juga merubah rencana Pilkada serentak dari tahun 2020 menjadi tahun 2027. Menurut Abdul Malik Haramain, anggota Komisi II DPR RI, sebagaimana dikutip dari www.tribunnews.com tanggal (16/2), Pilkada langsung akan dilaksanakan dalam beberapa gelombang sebelum Pilkada langsung serentak pada 2027. Gelombang pertama akan dilaksanakan pada Desember 2015, untuk kepala daerah dan wakilnya yang AMJ-nya (akhir masa jabatan-red) habis pada tahun 2015 dan semester pertama (Januari-Juni) 2016. “Gelombang kedua dilaksanakan Februari 2017 untuk akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh kepala daerah yang akhir masa jabatannya tahun 2017", ujar anggota DPR dari Fraksi PKB tersebut.
Ketiga, selain dikembalikannya sistem paket, revisi UU Nomor 1 tahun 2015 juga merubah rencana Pilkada serentak dari tahun 2020 menjadi tahun 2027. Menurut Abdul Malik Haramain, anggota Komisi II DPR RI, sebagaimana dikutip dari www.tribunnews.com tanggal (16/2), Pilkada langsung akan dilaksanakan dalam beberapa gelombang sebelum Pilkada langsung serentak pada 2027. Gelombang pertama akan dilaksanakan pada Desember 2015, untuk kepala daerah dan wakilnya yang AMJ-nya (akhir masa jabatan-red) habis pada tahun 2015 dan semester pertama (Januari-Juni) 2016. “Gelombang kedua dilaksanakan Februari 2017 untuk akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh kepala daerah yang akhir masa jabatannya tahun 2017", ujar anggota DPR dari Fraksi PKB tersebut.
Dia menambahkan, Pilkada langsung serentak gelombang ketiga dilaksanakan pada Juni 2018 untuk kepala daerah yang AMJ-nya habis pada tahun 2018 dan 2019. Pola tersebut masih berlanjut sampai dengan lima tahun masa jabatan bagi kepala daerah yang terpilih pada Pilkada tahun 2015 (2020), 2017 (2022), dan 2018 (2023) sampai dengan Pilkada serentak nasional tahun 2027. Dengan ketentuan tersebut, Kabupaten Banyumas termasuk dalam gelombang ketiga, mengingat AMJ Bupati dan Wakil Bupati akan berakhir pada April 2018. Jika sebelumnya menurut UU Nomor 1 tahun 2015 di Kabupaten Banyumas kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2018 hanya memiliki masa jabatan 2 tahun mengingat Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan 2020, maka dengan aturan revisi UU kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap memiliki satu periode penuh sampai dengan 2023.
Satu Putaran
Perubahan lain pada revisi atas UU Pilkada adalah ditetapkannya ambang batas kemenangan 0%, yang berarti pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih (pasal 107 dan pasal 109). Dengan begitu Pilkada hanya berlangsung satu putaran.
Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pada UU Nomor 32 tahun 2004/UU Nomor 12 tahun 2008 dan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mensyaratkan ambang batas kemenangan minimal 30%. Artinya jika ada pasangan calon yang memiliki suara sah kurang dari 30%, maka akan dilaksanakan putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memiliki jumlah suara terbanyak pertama dan kedua. Tetapi dengan berlakukannya aturan baru tersebut berapapun jumlah perolehan suara pasangan calon, asalkan memperoleh suara terbanyak maka akan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Peraturan tersebut menurut pembuat UU, dimaksudkan untuk menghemat anggaran penyelenggaraan Pilkada, khususnya untuk penyelenggaraan Pilkada putaran kedua.
Pembatasan Politik Kekerabatan
Selain hal-hal di atas, hal yang baru juga adalah ditambahkannya syarat bagi pasangan calon untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent) (pasal 7 huruf r). Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana. Artinya pasangan calon bukan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Dengan begitu, menurut Profesor Riset ilmu politik LIPI, Siti Zuhro, sebagaimana dikutip dari Harian KOMPAS (18/2), pasal tersebut mengunci politik dinasti, kalau tidak ada pasal itu daerah menganggap politik dinasti tidak masalah.
KPU Sebagai Penyelenggara Pilkada
Revisi UU Pilkada juga masih mempertahankan penyelenggara Pilkada menjadi tanggung jawab bersama antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Meskipun sebagian kalangan mengatakan bahwa Pilkada bukan termasuk dalam rezim Pemilu, tetapi menurut Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI), KPU masih memiliki tugas dan kewajiban menyelenggarakan pemilihan mengingat UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu masih mengamanatkan KPU untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Selama UU menyatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi tanggung jawab KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, maka itulah yang berlaku”, jelas Husni. seperti dikutip dari situs resmi KPU (www.kpu.go.id) 21 Januari 2015.
Terkait dengan aturan-aturan teknis pelaksanaan Pilkada, KPU menargetkan Maret sudah dapat melaksanakan sosialisasi. Aturan-aturan teknis Pilkada, menurut Idha Budiati, anggota KPU divisi hukum dan pengawasan sebagaimana dikutip dari harian KOMPAS (28/2), aturan-aturan teknis tersebut antara lain soal tanggung jawab renteng pelaksana Pilkada, pemutakhiran data pemilih dan sengketa Pilkada.
Berkaitan dengan sengketa hasil Pemilu, revisi UU tersebut juga berbeda dengan rumusan pada UU Nomor 1 tahun 2105, yang menyatakan bahwa sengketa perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut diubah menjadi perkara perselisihan hasil Pilkada akan diperiksa dan diteliti oleh badan peradilan khusus, namun badan peradilan khusus tersebut dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional 2027 (pasal 157). Oleh karenanya, perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada sebelum terbentuknya badan peradilan khusus tersebut masih diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
Dihapuskannya Tahapan Uji Publik
Selain ketentuan di atas, revisi UU Pilkada juga menghapus tahapan uji publik. Menurut ketentuan UU Nomor 1 tahun 2015, yang dimaksud dengan uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat mandiri dan dibentuk oleh Komisi Pemilihan
Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan pencalonan (pasal 1 ayat 2). Tetapi akhirnya DPR dan pemerintah menyepakati untuk menghapus ketentuan uji publik sebagai syarat bakal calon. Salah satu alasan dihapuskannya tahapan uji publik adalah untuk menghemat waktu penyelenggaraan Pilkada. “Tahapan pendaftaran bakal calon dan uji publik dihapus. Uji publik kita serahkan ke partai politik, untuk mengurangi panjangnya tahapan pilkada yang juga otomatis mengurangi anggaran pilkada”, ujar Abdul Malik Haramain sebagaimana dikutip dari Kompas.com (13/2).
Untuk diketahui, tahapan uji publik muncul seiring diberlakukannya Perppu Nomor 1 tahun 2014 yang diajukan oleh Presiden SBY, kemudian menjadi UU Nomor 1 tahun 2015. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa calon yang akan didaftarkan ke KPU harus telah mengikuti tahapan uji publik. Uji publik dilaksanakan oleh panitia uji publik yang terdiri dari 5 orang. Partai atau gabungan partai dapat mengajukan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik. Tujuannya adalah agar menjadi sarana bagi pemilih untuk bisa menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menentukan pilihan.
Perubahan Aturan Teknis Lainnya
Hal teknis lain yang luput dari perhatian publik terkait dengan revisi UU Pilkada diantaranya adalah dihapuskannya tahapan rapat pleno rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), syarat penggunaan hak pilih bagi warga yang tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sumber dana Pilkada, fasilitasi kampanye dan penggunaan teknologi dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pada revisi UU Pilkada, PPS tidak memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara. Dengan begitu, berita acara dan sertifikat hasil dari seluruh TPS di buka dan dihitung langsung di tingkat kecamatan. Ketentuan ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya sesuai UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 1 tahun 2015 yang masih menetapkan adanya rekapitulasi suara di tingkat PPS.
Sedangkan terkait dengan sumber dana Pilkada, aturan yang baru mengatur pendanaan Pilkada dibebakan kepada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Ketentuan mengenai dukungan APBN diatur dengan Peraturan Pemerintah dan dukungan APBD diatur dengan Peraturan Menteri (pasal 166). Hal tersebut berbeda dengan UU Nomor 1 tahun 2015 yang menentukan sumber pendanaan Pilkada dibebankan kepada APBN dan dapat dibantu dengan APBD.
Hal teknis lain yang menonjol dari revisi UU Pilkada adalah ditambahkannya ketentuan penggunaan hak pilih bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT yaitu pemilih tersebut dapat menggunakan hak pilih dengan menunjukkan KTP Elekronik, kartu keluarga, paspor dan/atau identitas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini sekaligus memperluas “fasilitas” pemilih yang tidak tercantum dalam DPT seperti yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2015.
Ketentuan tentang kampanye bagi pasangan calon sesuai dengan revisi UU Pilkada nampaknya juga berbeda dengan pelaksanaan pilkada-pilkada selama ini.
Jika selama ini kampanye dilakukan seluruhnya oleh para peserta Pilkada, tetapi pada UU Nomor 1 tahun 2015 dan revisinya kegiatan kampanye berupa debat publik/terbuka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga dan iklan di media massa cetak/elektronik akan difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai oleh APBD (pasal 65). Yang jelas nantinya ketentuan lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan KPU.
Selain ketentuan-ketentuan teknis di atas masih ada hal lain yang penting untuk dicatat, yaitu diperbolehkannya pemungutan dan penghitungan di TPS menggunakan elektronik (E-Voting) (pasal 98 ayat 3).
Satu Putaran
Perubahan lain pada revisi atas UU Pilkada adalah ditetapkannya ambang batas kemenangan 0%, yang berarti pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih (pasal 107 dan pasal 109). Dengan begitu Pilkada hanya berlangsung satu putaran.
Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pada UU Nomor 32 tahun 2004/UU Nomor 12 tahun 2008 dan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mensyaratkan ambang batas kemenangan minimal 30%. Artinya jika ada pasangan calon yang memiliki suara sah kurang dari 30%, maka akan dilaksanakan putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memiliki jumlah suara terbanyak pertama dan kedua. Tetapi dengan berlakukannya aturan baru tersebut berapapun jumlah perolehan suara pasangan calon, asalkan memperoleh suara terbanyak maka akan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Peraturan tersebut menurut pembuat UU, dimaksudkan untuk menghemat anggaran penyelenggaraan Pilkada, khususnya untuk penyelenggaraan Pilkada putaran kedua.
Pembatasan Politik Kekerabatan
Selain hal-hal di atas, hal yang baru juga adalah ditambahkannya syarat bagi pasangan calon untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent) (pasal 7 huruf r). Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana. Artinya pasangan calon bukan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Dengan begitu, menurut Profesor Riset ilmu politik LIPI, Siti Zuhro, sebagaimana dikutip dari Harian KOMPAS (18/2), pasal tersebut mengunci politik dinasti, kalau tidak ada pasal itu daerah menganggap politik dinasti tidak masalah.
KPU Sebagai Penyelenggara Pilkada
Revisi UU Pilkada juga masih mempertahankan penyelenggara Pilkada menjadi tanggung jawab bersama antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Meskipun sebagian kalangan mengatakan bahwa Pilkada bukan termasuk dalam rezim Pemilu, tetapi menurut Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI), KPU masih memiliki tugas dan kewajiban menyelenggarakan pemilihan mengingat UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu masih mengamanatkan KPU untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Selama UU menyatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi tanggung jawab KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, maka itulah yang berlaku”, jelas Husni. seperti dikutip dari situs resmi KPU (www.kpu.go.id) 21 Januari 2015.
Terkait dengan aturan-aturan teknis pelaksanaan Pilkada, KPU menargetkan Maret sudah dapat melaksanakan sosialisasi. Aturan-aturan teknis Pilkada, menurut Idha Budiati, anggota KPU divisi hukum dan pengawasan sebagaimana dikutip dari harian KOMPAS (28/2), aturan-aturan teknis tersebut antara lain soal tanggung jawab renteng pelaksana Pilkada, pemutakhiran data pemilih dan sengketa Pilkada.
Berkaitan dengan sengketa hasil Pemilu, revisi UU tersebut juga berbeda dengan rumusan pada UU Nomor 1 tahun 2105, yang menyatakan bahwa sengketa perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut diubah menjadi perkara perselisihan hasil Pilkada akan diperiksa dan diteliti oleh badan peradilan khusus, namun badan peradilan khusus tersebut dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional 2027 (pasal 157). Oleh karenanya, perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada sebelum terbentuknya badan peradilan khusus tersebut masih diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
Dihapuskannya Tahapan Uji Publik
Selain ketentuan di atas, revisi UU Pilkada juga menghapus tahapan uji publik. Menurut ketentuan UU Nomor 1 tahun 2015, yang dimaksud dengan uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat mandiri dan dibentuk oleh Komisi Pemilihan
Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan pencalonan (pasal 1 ayat 2). Tetapi akhirnya DPR dan pemerintah menyepakati untuk menghapus ketentuan uji publik sebagai syarat bakal calon. Salah satu alasan dihapuskannya tahapan uji publik adalah untuk menghemat waktu penyelenggaraan Pilkada. “Tahapan pendaftaran bakal calon dan uji publik dihapus. Uji publik kita serahkan ke partai politik, untuk mengurangi panjangnya tahapan pilkada yang juga otomatis mengurangi anggaran pilkada”, ujar Abdul Malik Haramain sebagaimana dikutip dari Kompas.com (13/2).
Untuk diketahui, tahapan uji publik muncul seiring diberlakukannya Perppu Nomor 1 tahun 2014 yang diajukan oleh Presiden SBY, kemudian menjadi UU Nomor 1 tahun 2015. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa calon yang akan didaftarkan ke KPU harus telah mengikuti tahapan uji publik. Uji publik dilaksanakan oleh panitia uji publik yang terdiri dari 5 orang. Partai atau gabungan partai dapat mengajukan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik. Tujuannya adalah agar menjadi sarana bagi pemilih untuk bisa menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menentukan pilihan.
Perubahan Aturan Teknis Lainnya
Hal teknis lain yang luput dari perhatian publik terkait dengan revisi UU Pilkada diantaranya adalah dihapuskannya tahapan rapat pleno rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), syarat penggunaan hak pilih bagi warga yang tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sumber dana Pilkada, fasilitasi kampanye dan penggunaan teknologi dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pada revisi UU Pilkada, PPS tidak memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara. Dengan begitu, berita acara dan sertifikat hasil dari seluruh TPS di buka dan dihitung langsung di tingkat kecamatan. Ketentuan ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya sesuai UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 1 tahun 2015 yang masih menetapkan adanya rekapitulasi suara di tingkat PPS.
Sedangkan terkait dengan sumber dana Pilkada, aturan yang baru mengatur pendanaan Pilkada dibebakan kepada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Ketentuan mengenai dukungan APBN diatur dengan Peraturan Pemerintah dan dukungan APBD diatur dengan Peraturan Menteri (pasal 166). Hal tersebut berbeda dengan UU Nomor 1 tahun 2015 yang menentukan sumber pendanaan Pilkada dibebankan kepada APBN dan dapat dibantu dengan APBD.
Hal teknis lain yang menonjol dari revisi UU Pilkada adalah ditambahkannya ketentuan penggunaan hak pilih bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT yaitu pemilih tersebut dapat menggunakan hak pilih dengan menunjukkan KTP Elekronik, kartu keluarga, paspor dan/atau identitas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini sekaligus memperluas “fasilitas” pemilih yang tidak tercantum dalam DPT seperti yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2015.
Ketentuan tentang kampanye bagi pasangan calon sesuai dengan revisi UU Pilkada nampaknya juga berbeda dengan pelaksanaan pilkada-pilkada selama ini.
Jika selama ini kampanye dilakukan seluruhnya oleh para peserta Pilkada, tetapi pada UU Nomor 1 tahun 2015 dan revisinya kegiatan kampanye berupa debat publik/terbuka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga dan iklan di media massa cetak/elektronik akan difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai oleh APBD (pasal 65). Yang jelas nantinya ketentuan lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan KPU.
Selain ketentuan-ketentuan teknis di atas masih ada hal lain yang penting untuk dicatat, yaitu diperbolehkannya pemungutan dan penghitungan di TPS menggunakan elektronik (E-Voting) (pasal 98 ayat 3).
Kesiapan KPU
Sejauh ini, KPU RI telah mempersiapkan 10 peraturan KPU terkait dengan Pilkada serentak khususnya untuk Pilkada gelombang pertama Desember 2015 ini. Menurut rencana awal April peraturan KPU tersebut akan dibawa ke komisi II untuk dilakukan konsultasi.
Menurut Hadar Nafis Gumay, anggota KPU, sejumlah daerah telah melaksanakan persiapan Pilkada, seperti merekrut tenaga ad hoc, PPK, PPS dan KPPS. “Undang-undang Pilkada mengatur persiapan dan penyelenggaraan Pilkada. Pembentukan panitia Pilkada masuk dalam persiapan dan semua ini akan ada jadwalnya serta tertuang dalam peraturan KPU”, ujar Hadar, seperti dikutip dari Harian Kompas (27/2). Selain terkait dengan pembentukan badan penyelenggara, KPU di daerah juga masih disibukkan dengan kesiapan anggaran dari APBD. Apalagi jika Pilkada dilaksanakan pada bulan Desember dimungkinkan akan melewati dua tahun anggaran.
Menurut Hadar Nafis Gumay, anggota KPU, sejumlah daerah telah melaksanakan persiapan Pilkada, seperti merekrut tenaga ad hoc, PPK, PPS dan KPPS. “Undang-undang Pilkada mengatur persiapan dan penyelenggaraan Pilkada. Pembentukan panitia Pilkada masuk dalam persiapan dan semua ini akan ada jadwalnya serta tertuang dalam peraturan KPU”, ujar Hadar, seperti dikutip dari Harian Kompas (27/2). Selain terkait dengan pembentukan badan penyelenggara, KPU di daerah juga masih disibukkan dengan kesiapan anggaran dari APBD. Apalagi jika Pilkada dilaksanakan pada bulan Desember dimungkinkan akan melewati dua tahun anggaran.
Komentar
Posting Komentar