Langsung ke konten utama

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi. 


Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik.
BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam radical concentratie yang menyuarakan tentang perlunya Majelis Nasional sebagai lembaga parlemen pendahuluan untuk merumuskan hukum dasar bagi Hindia-Belanda.

Setelah berdirinya BU dan SI, berturut-turut berdiri organisasi-organisasi yang lebih menonjol aktifitas politiknya, bahkan diantaranya ada yang terang-terangan menyebutkan diri sebagai partai politik. Organisasi politik tersebut tidak hanya “lokal” Hindia-Belanda, tetapi juga beberapa diantaranya merupakan cabang partai politik yang berada di negeri Belanda. Beberapa organisasi politik yang muncul diantaranya, seperti Indische Partij/IP, yang kemudian berubah menjadi Insulinde (1912), Indische Sociaal Democratische Vereeniging/ISDV, organisasi beraliran sosialis kiri (1914), Indische Sociaal-Democratische Partij (1917), organisasi sosial-demokrat, Partai Nasional Indonesia, partai politik tertua (1927), dan Partai Indonesia Raya/Parindra (1935). Tidak hanya organisasi politik, kaum pergerakan juga membentuk persekutuan atau konfederasi organisasi politik, seperti PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia pada 1927 dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 1939.

Masa Pembatasan dan Pembubaran
Memasuki akhir dasawarsa  kedua dan awal dasawarsa ketiga abad ke-20 adalah masa yang getir bagi kaum pergerakan. Masa ini ini ditandai dengan kebijakan yang represif Gubernur Jenderal yang memerintah pada saat itu. Pemerintah Hinda-Belanda mulai tegas untuk membubarkan bahkan memenjarakan aktivis pergerakan nasional yang secara terang-terangan mendorong ide-ide nasionalis. Pada 1927 PNI dilarang untuk beraktivitas setelah sikap konfrontatif yang dilakukan oleh Soekarno. Jauh sebelumnya Indische Partij dan PKI juga telah dilarang untuk beraktifitas setelah masing-masing dituduh menjadi dalang sejumah pemogokan serikat buruh kereta api (1913) dan pemberontakan di Jakarta (1926). Pembatasan, pembubaran dan penangkapan beberapa aktivisnya memaksa kaum pergerakan mengubah aktivitasnya menjadi lebih moderat atau mendirikan organisasi baru.

Menurunnya aktivitas pergerakan juga berlanjut sampai dengan datangnya  pemerintahan pendudukan Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang sangat membatasi aktivitas yang berbau politis, apalagi rapat-rapat yang membicarakan organisasi dan struktur pemerintahan. Hal ini mereka lakukan karena tidak mendapatkan dukungan dari kaum pergerakan nasional melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Akhirnya mereka berpaling kepada organisasi keagamaan, sehingga mereka hanya membolehkan organisasi yang berafiliasi kepada agama, terutama Islam, untuk berkembang. Tentu hal tersebut dikarenakan organisasi keagamaan dapat dijadikan sebagai media menggalang kekuatan rakyat untuk kepentingan perang pasifik yang sedang dihadapi Jepang.

Pada saat itu pemerintahan pendudukan Jepang menghidupkan lagi Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943.
Partai-partai yang muncul sebelum kemerdekaan di atas, lebih dikategorikan partai yang berbasis pada ideologi (weltanschauungs party) karena pada umumnya berafiliasi kepada paham pemikiran politik tertentu.

Sementara itu dari sisi fungsi, mereka dapat dikatakan telah menjalankan fungsi sebagaimana partai-partai politik modern. Pertama, mereka telah membuat suatu saluran untuk tujuan kemajuan dan kemerdekaan Indonesia, sehingga dapat dikatakan mereka memerankan fungsi sebagai agregator kepentingan rakyat. Kedua, mereka menjadi jembatan komunikasi ide-ide nasional untuk kemajuan dan kemerdekaan Indonesia kepada khalayak, melalui kegiatan konggres dan rapat-rapat umum. Fungsi ini dapat dikatakan sama dengan fungsi komunikasi politik yang dilakukan partai-partai politik modern. Ketiga, fungsi rekruitmen politik juga telah dimainkan oleh mereka, meskipun dengan cara yang sangat terbatas, seperti menyalurkan para anggotanya untuk menjadi anggota Volksraad. Keempat, hampir sebagiaan besar anggota BPUPK dan PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dimana para anggotanya merupakan pegiat organisasi politik yang telah berkembang sebelumnya. Fungsi ini menjadikan organisasi-organisasi tersebut sebagai “kawah candradimuka” pemimpin-pemimpin nasional. Organisasi-organisasi tersebut memainkan peran pendidikan dan kaderisasi politik. (sp_a)

Disarikan dari berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper