Usaha membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih jauh dari yang diharapkan. Perilaku menerabas aturan, intoleransi, korupsi, kolusi dan nepotisme mencerminkan belum diterapkannya nilai–nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Celakanya, perilaku semacam itu banyak dicontohkan oleh mereka yang harusnya menjadi teladan. Mayoritas publik (52 persen) menganggap perilaku tidak disiplin, melanggar hukum dan KKN merupakan hal yang paling mengancam keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, bahkan mengalahkan ancaman dari ideologi yang didasari oleh fanatisme agama (Litbang KOMPAS, 1 Juni 2015). Hal itu wajar mengingat persepsi publik tentang pemberantasan korupsi saat ini cenderung memburuk. KPK yang selama ini dianggap publik memperjuangkan pemberantasan korupsi terus menerus dirongrong kewibawaanya. Bagaimana tidak, kekalahan KPK dalam tiga kasus pra-peradilan beberapa waktu yang lalu, membuat lembaga anti-rasuah itu terlihat lemah dalam penegakan hukum pidana korupsi. Belum lagi pimpinan dan para tenaga penyidiknya tersandung masalah hukum kalau tidak dapat dikatakan ada dugaan dikriminalisasi.
Dok. Litbang Kompas |
Masih menurut Litbang KOMPAS, secara institusional publik menganggap institusi TNI dan KPK kuat dapat melaksanakan nilai-nilai Pancasila, masing-masing memiliki skors 57,7 persen dan 48,7 persen. Keduanya dianggap lebih kuat melaksanakan nilai-nilai Pancasila dibandingkan dengan institusi yang lain, seperti DPR (18,2 persen), partai politik (15,1 persen), kepolisian (30,5 persen), kejaksaan (25,1 persen), kehakiman (24,1 persen) dan kabinet pemerintahan (32,2 persen).
Keberhasilan TNI mengamankan kedaulatan NKRI dari rongrongan kekuatan asing dianggap prestasi yang membanggakan dan sekaligus sebagai upaya yang patut diapresiasi. Lihat saja kemampuan TNI dalam menghalau dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang mencuri kekayaan laut (illegal fishing). Sementara KPK memiliki prestasi yang cemerlang dalam upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi sejak pertama berdiri. Bahkan intitusi ini berhasil menjerat para pejabat tinggi negara dan mengembalikan uang negara hasil praktik ilegal.
Dok. korupsi_psikolog.web.id |
Perilaku Elit
Perilaku koruptif seperti kekhawatiran publik di atas justru banyak dilakukan oleh mereka para elit yang berada di level tinggi pemerintahan, birokrasi dan partai politik, baik di pusat maupun daerah. Hal itu terlihat dari para terpidana korupsi yang merupakan para pejabat negara dan petinggi partai politik.
Perilaku koruptif seperti kekhawatiran publik di atas justru banyak dilakukan oleh mereka para elit yang berada di level tinggi pemerintahan, birokrasi dan partai politik, baik di pusat maupun daerah. Hal itu terlihat dari para terpidana korupsi yang merupakan para pejabat negara dan petinggi partai politik.
Padahal seharusnya merekalah yang menjadi teladan masyarakat dalam praktik berbangsa dan bernegara. Maka tak heran masyarakat kehilangan kepercayaan kepada para penyelenggara negara, yang pada gilirannya akan mendegradasi legitimasi lembaga negara itu sendiri. Jika sudah begitu jatuhnya lembaga negara justru disebabkan oleh perilaku oknum pejabatnya. Lihatlah apa yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi pasca ditangkapnya Akil Mochtar dengan dugaan menerima suap untuk memenangkan sengketa perselisihan hasil Pilkada pada 2013 yang lalu. MK sebagai institusi penghulu sengketa pemilu jatuh ke titik nadir. Keputusannya didelegitimasi oleh para pihak yang pernah beracara di lembaga yang berwenang menangani sengketa pemilu/pilkada itu. Para pejabat yang terlibat dalam kasus penyuapan tersebut tak luput dari jerat hukum, seperti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Bonara Situmeang Bupati Tapanuli Tengah dan Romi Herton Walikota Palembang. Akibatnya, pemerintahan di daerah menjadi tersendat dan lagi-lagi masyarakatlah yang dirugikan.
Meskipun begitu, mesyarakat hendaknya tidak melakukan generalisir atas banyaknya kasus korupsi yang menimpa petinggi negara. Sebab masih banyak para pejabat yang dapat dijadikan teladan dan memang benar-benar menegakan sumpah jabatannya.
Ganasnya Politik Uang
Maraknya kasus korupsi yang menimpa para petinggi negara ditengarai karena mahalnya ongkos rekruitmen politik. Misalnya untuk menjadi kepala daerah harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Menurut data dirjen otonomi daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, 309 kepala daerah tersangkut kasus korupsi sejak penyelenggaraan Pilkada langsung tahun 2005 silam. Biaya politik mahal tidak hanya terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada berlangsung, tetapi juga ketika ada sengketa pilkada yang harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Belum lagi praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses putusan sengketa pilkada tersebut. Oleh karena itu, pada saat mereka menjabat mereka berusaha untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan.
Maraknya kasus korupsi yang menimpa para petinggi negara ditengarai karena mahalnya ongkos rekruitmen politik. Misalnya untuk menjadi kepala daerah harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Menurut data dirjen otonomi daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, 309 kepala daerah tersangkut kasus korupsi sejak penyelenggaraan Pilkada langsung tahun 2005 silam. Biaya politik mahal tidak hanya terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada berlangsung, tetapi juga ketika ada sengketa pilkada yang harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Belum lagi praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses putusan sengketa pilkada tersebut. Oleh karena itu, pada saat mereka menjabat mereka berusaha untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan.
Pemilu/Pilkada dapat disebut sebagai mekanisme legal sirkulasi elit dalam negara yang demokratis. Sebab melalui Pemilu para legislator dan pimpinan eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dari sinilah biasanya awal dari lingkaran setan korupsi. Pada saat mereka mencalonkan diri dan berkampanye menarik dukungan pemilih tak jarang menggunakan segala cara untuk meraihnya.
Celakanya, cara yang digunakan adalah dengan jual-beli suara atau politik uang. Di lain pihak, pemilih pun mudah dirayu untuk menjual suaranya dengan imbalan uang atau barang yang sifatnya jangka pendek. Maka tak heran jika ongkos politik seorang kandidat bisa sangat besar dibandingkan dengan penghasilan sah jika sudah menjabat. Bayangkan untuk untuk menjadi bupati/walikota saja sudah mencapai milyaran rupiah apalagi untuk level gubernur. Maka tak heran jika setelah menjabat mereka berusaha untuk mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan dengan cara mengobral konsesi pengelolaan sumber daya alam, menerima suap bahkan sampai menyalahgunakan APBD.
Berbagai upaya untuk mengurangi potensi korupsi yang dilakukan khususnya oleh kepala daerah dan/atau para legislator telah dilakukan. Diantaranya dengan desain institusional untuk mengurangi ongkos politik, seperti sanksi bagi pelaku politik uang, pembatasan sumbangan kampanye dan kewajiban melaporkan dana kampanye.
Akan tetapi pencegahan dengan desain peraturan perundangan belum secara efektif mengurangi potensi korupsi, karena pada tataran implementasi sangat sulit untuk ditegakan. Misalnya, pelaku politik uang dalam pemilu masih tidak dapat dijerat karena si pelaku tidak tercatat sebagai tim kampanye. Belum lagi keengganan para pihak untuk melaporkan para pelaku disebabkan harus menempuh prosedur pembuktian yang tidak sederhana.
Demokrasi Pancasila dan Pemilu
Oleh sebab itu, penting sekali untuk kembali ke nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Menurut Zamzam Muhammad Fuad, peneliti muda pada Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan PKPK Universitas Muhammadiyah Purwokerto, banyaknya kasus politik uang yang terjadi pada pemilu karena masyarakat belum sepenuhnya dipenuhi hak ekonominya. Padahal hakikat demokrasi Pancasila, menurutnya, adalah sosio-demokrasi yaitu demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Negara tak hanya menjamin hak politik masyarakat, namun juga hak ekonomi.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk kembali ke nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Menurut Zamzam Muhammad Fuad, peneliti muda pada Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan PKPK Universitas Muhammadiyah Purwokerto, banyaknya kasus politik uang yang terjadi pada pemilu karena masyarakat belum sepenuhnya dipenuhi hak ekonominya. Padahal hakikat demokrasi Pancasila, menurutnya, adalah sosio-demokrasi yaitu demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Negara tak hanya menjamin hak politik masyarakat, namun juga hak ekonomi.
Menurutnya, di bidang ekonomi indeks GINI menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi masyarakat yang semakin melebar. Ekonomi tidak menggusur kemiskinan namun menggusur orang miskin. Koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat mati lemas. Politik anggaran tidak mendukung perkembangan koperasi karena hanya 0,1 persen APBN yang dialokasikan untuk koperasi. Itupun, kucuran dananya tidak teralokasikan dengan tepat sasaran.
Maka ketika hak politik diberikan kepada masyarakat melalui hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, negara juga harus menjamin dipenuhinya hak ekonomi. “Tanpa hak ekonomi, hak politik akan mudah disusupi oleh money politics yang memuluskan terjadinya oligarki. Demikian juga, tanpa hak politik, hak ekonomi hanya akan berujung pada monopoli”, terangnya.
Zamzam juga menggarisbawahi jika selama ini KPU cukup berhasil dalam mengusahakan terselenggaranya Pemilu yang LUBERJURDIL. Akan tetapi, alumni S2 Ketahanan Nasional UGM ini juga menuturkan yang jadi persoalan adalah bahwa pemilu bukanlah ukuran keberhasilan demokrasi. “Kalau hanya persoalan ada tidaknya pemilu, Orde Baru bisa dong dikatakan demokratis?”, pungkasnya.
Sumber: KOMPAS, edisi 1 Juni 2015
Sumber: KOMPAS, edisi 1 Juni 2015
(Artikel News Letter "DERAP KPU KABUPATEN BANYUMAS" edisi bulan Juni 2015)
Komentar
Posting Komentar