Langsung ke konten utama

WAWANCARA

PEMILU DAN DEMOKRASI PANCASILA

 


Bulan Juni ini kita sebagai bangsa memperingati hari lahir Pancasila. Gagasan Pancasila digali dari nilai-nilai yang ada adalah kebudayaan dan kehidupan masyarakat kepulauan Nusantara oleh Bung Karno untuk kemudian dijadikan dasar negara. Secara implisit, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menyiratkan nilai-nilai demokrasi, maka kemudian dikenal dengan demokrasi Pancasila. Di sisi lain, Pemilu merupakan mekanisme perwujudan kedaulatan rakyat dalam memilih wakil/pemimpin. 


Sebagai sebuah prosedur, Pemilu yang dikenal saat ini banyak mengadopsi pemikiran dan praktik negara-negara demokrasi maju, baik sistem maupun prosedur pelaksanaannya. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah Pemilu yang sekarang dipraktikkan sesuai dengan nilai demokrasi Pancasila? Berikut ini petikan wawancana “DERAP KPU KABUPATEN BANYUMAS” dengan ZAMZAM MUHAMMAD FUAD, S.IP., M.Sc, alumni S-2 Ketahanan Nasional UGM dan staf peneliti pada Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan (PKPK) Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Bulan Juni ini memperingati hari lahir Pancasila? Apa sebenarnya makna Pancasila bagi Bangsa Indonesia, apakah ia sekedar sebagai “konsensus minimal” dari para pendiri bangsa dikarenakan keberagamaan suku-bangsa-agama-bahasa ataukah ia merupakan sari pati nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat nusantara? 
Semua benar, tergantung pendekatannya. Ada banyak cara orang memaknai sejarah kelahiran Pancasila. Paling tidak ada 4 pendekatan: hukum, sosio-histori, politis, dan strategis.
Secara hukum, Pancasila adalah dasarnya Indonesia merdeka. Pancasila muncul karena pertanyaan Radjiman Wediodiningrat yang bertanya kepada forum BPUPKI mengenai apa sih dasarnya Indonesia yang merdeka itu? Pertanyaan ini sedikit membingungkan peserta rapat. Sebab, kalau kita memakai pendekatan hukum, semua harus ada dasarnya, asal mulanya, sumbernya. Misalnya, semua dasar kebijakan di Indonesia harus mengacu pada UU, sementara itu UU harus mengacu pada UUD 1945, sedangkan UUD 1945 harus mengacu pada Pembukaan UUD 1945, kemudian Pembukaan UUD 1945 ini harus mengacu pada apa.

Nah, Indonesia merdeka itu dasarnya hukumnya apa? Rapat BPUPKI menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Jadi, segala produk hukum Indonesia baik itu naskah proklamasi, pembukaan konstitusi, konstitusi, undang-undang, kebijakan, harus sesuai dengan Pancasila. Dengan demikian kalau dengan pendekatan hukum, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Lalu ditanyakan lagi, lha Pancasila itu muncul dari mana?

Nah, disini muncullah pendekatan sosio historis yang memandang bahwa Pancasila itu hanya digali, bukan diciptakan oleh Soekarno. Dalam pendekatan ini diyakini bahwa Pancasila merupakan manifestasi sebuah semangat bangsa yang sudah terlebih dahulu ada. Jadi singkatnya boleh dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila itu sudah terlebih dahulu eksis dalam kebudayaan dan kehidupan bangsa bahkan sebelum istilah Pancasila itu sendiri dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI.

Pendekatan yang lain adalah praktis-politis. Pendekatan ini menyatakan bahwa Pancasila adalah kompromi atau konsensus minimal yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam sidang BPUPKI.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan strategis. Pendekatan ini menyatakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang multi-kebudayaan dan pemikiran kebangsaan. Oleh karena itu bangsa ini perlu membuat suatu konsep yang memayungi mozaik-mozaik kemajemukan. Dalam negeri seperti itu, konsensus dianggap sebagai common denominator. Kalau diibaratkan dalam matematika, 1/2 + 1/3 tidak bisa dijumlahkan tanpa ada 1/6. Pendekatan ini yakin bahwa tanpa ada common denominator, persatuan hanya akan menjadi persatean dan membuahkan kerusuhan.

Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini apa relevansi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan ini sering jadi bahan diskusi mahasiswa. Mereka mempertanyakan mengapa jika Pancasila “sakti”, kondisi bangsa masih begini-begini saja. Kalau saya menduganya sebaliknya. Pancasila baru sebatas dipahami sebagai hafalan saja. Jika Pancasila disepakati sebagai ideologi, maka harus ada komitmen untuk menjadikan Pancasila terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Usaha itu tidak cukup hanya dengan cara mengadakan lomba butir-butir P4 dan sejenisnya. Dalam hal ini Pancasila harus “naik kelas”, tidak hanya dihafal, namun juga dijadikan paradigma bangunan pengetahuan.
Dalam tinjauan teori kritis sosial, hal itu tidak menyalahi etika berpengetahuan. Menurut Chris Weedon, seorang feminis, salah satu strategi pemenangan ideologi adalah menguasai kampus. Maksudnya ideologi mesti menjadi dasar sekaligus menjadi subjek kritik sebuah ilmu.

Di era Soeharto, Pancasila ingin dijadikan dasar, namun tidak boleh dikritik. Akhirnya Pancasila tidak bisa berkembang karena tidak bisa diuji. Padahal syarat pengetahuan disebut ilmu adalah bisa dipublikasikan dan diuji.
Menggunakan Pancasila sebagai paradigma akan berdampak pada terjadinya revolusi pengetahuan. Misalnya. Paradigma ilmu sosial kolonial yang masih bertahan adalah “konflik”. Sebaliknya, Pancasila memiliki tekanan khusus terhadap “konsensus”.
Produksi pengetahuan sosial saat ini cenderung melihat masyarakat Indonesia secara terpecah-pecah, dalam arti yang dicari adalah perbedaannya atau titik konfliknya. Kalau dengan Pancasila, masyarakat yang majemuk ini akan dicari adalah titik temunya.
Sejatinya tidak ada yang salah dengan paradigma konflik yang berasal dari ilmu sosial barat. Yang harus dicurigai adalah ketika satu paradigma menguasai paradigma yang lain. Jadi, pancasila sebagai ilmu adalah agenda untuk mengimbangi “konflik” sebagai “the contemporary ruling paradigm”. Dengan cara itulah Pancasila relevan dengan tuntutan keilmuan sekarang.

Dalam perkembangannya muncul istilah “demokrasi Pancasila”. Sebenarnya dari mana istilah itu muncul dan untuk mewakili konsep demokrasi yang seperti apa?
Demokrasi Pancasila adalah sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Negara tak hanya menjamin hak politik masyarakat, namun juga hak ekonomi.

Apakah demokrasi di Indonesia yang dipraktikkan saat ini sudah sejalan dengan nilai-nilai  demokrasi Pancasila?
Belum. Masyarakat belum mendapatkan hak ekonomi. Demokrasinya pun absurd. Di bidang ekonomi, indeks GINI menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi masyarakat yang semakin melebar. Ekonomi tidak menggusur kemiskinan namun menggusur orang miskin. Koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat mati lemas. Politik anggaran tidak mendukung perkembangan koperasi karena hanya 0,1 persen APBN yang dialokasikan untuk koperasi. Itupun, kucuran dananya tidak teralokasikan dengan tepat sasaran.
Selain itu, perwujudan nilai sila keempat dalam sistem politik Indonesia juga bermasalah. Keberadaan MPR adalah salah satu perwujudan nilai sila keempat. Tapi lihat sekarang MPR tidak bisa apa-apa. Kalau dulu, MPR bisa menetapkan GBHN yang merupakan perwujudan keinginan dan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Sekarang nyaris tidak ada tugasnya selain melantik presiden.

Semua undang-undang dan kebijakan praktis hanya dipegang oleh perwakilan yang dipilih melalui pemilu. apakah wakil rakyat yang muncul dalam proses pemilu sudah representatif? Mari merenung. Dalam konteks negara kepulauan yang sangat luas ini, apakah mungkin masyarakat Kepulauan Sebatik punya wakil rakyat di parlemen mengingat jumlah masyarakat kepulauan itu yang kecil, miskin, sementara itu pemilunya korup? Oleh karena itu, agar nilai Pancasila sila ke-4 tertunaikan, hidupkan lagi skema perwakilan dengan utusan daerah dan utusan golongan.

Apakah praktik Pemilu saat ini sudah sesuai dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila?
Tergantung bagaimana kita memaknai demokrasi. Kalau demokrasi Pancasila hanya diukur dari ada tidaknya pemilu, tentu sudah. Sebab secara normatif, Pemilu dapat dikatakan sesuai dengan nilai Pancasila jika memenuhi asas LUBERJURDIL. Saya pikir, KPU sudah sangat baik dalam mengusahakan pemilu yang seperti itu. Akan tetapi yang jadi persoalan adalah bahwa pemilu bukanlah ukuran keberhasilan demokrasi. Kalau hanya persoalan ada tidaknya pemilu, Orde Baru bisa dong dikatakan demokratis? Sudah dikatakan sebelumnya bahwa demokrasi Indonesia harus menjamin hak politik sekaligus hak ekonomi rakyat. Hak politik mensyaratkan hak ekonomi, hak ekonomi mensyaratkan hak politik. Tanpa hak ekonomi, hak politik akan mudah disusupi oleh money politics yang memuluskan terjadinya oligarki. Demikian juga, tanpa hak politik, hak ekonomi hanya akan berujung pada monopoli. 


DATA PENULIS:
Zamzam Muhammad Fuad, S.IP, M.Sc, lahir di Bandung, 17 November 1986. Menempuh S1 Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman dan melanjutkan ke Pascasarjana Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada hasil Beasiswa dari Kemenpora 2012. Dalam berorganisasi, aktif di Bidang Hikmah, Bidang Keilmuan IMM Komisariat Soedirman, IMM Cabang Banyumas dan DPD IMM Jawa Tengah. Karir yang dijalani hingga sekarang, dimulai di tahun 2010 sebagai Koordinator penelitian dan Pengembangan Tabloid Cermin Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, 2012 di Redaksi Ahmadtohari.com, 2013 sebagai Peneliti di Pusat kajian Pancasila dan Kepemimpinan Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan 2015 sebagai Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper