Langsung ke konten utama

SLOGAN "AYO KERJA" DAN TANTANGAN KEMERDEKAAN

Bulan Agustus bagi bangsa Indonesia memiliki makna tersendiri. Pada bulan inilah 70 tahun yang lalu tepatnya tanggal 17 Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Tak heran seluruh warga di pelosok tanah air sampai yang berada di negeri orang pun ikut merayakannya. Kegiatan yang dilakukan pun tidak hanya yang bersifat seremonial, seperti upacara peringatan detik-detik proklamasi, tabur bunga di taman makam pahlawan tetapi juga kegiatan yang bersifat hiburan di kota-kota besar sampai kampung-kampung dari Sabang sampai Merauke kerap dilakukan dengan berbagai macam variasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. 

 

Tantangan

Tantangan yang dihadapi oleh generasi sekarang tentunya berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi Soekarno-Hatta di pertengahan dekade 1940-an. Jika setelah proklamasi negara bayi Indonesia harus berhadapan dengan Belanda yang ingin kembali menjajah melalui serangkaian perjuangan diplomasi dan fisik, maka saat ini tantangannya jauh lebih kompleks. Ungkapan merebut lebih mudah dari pada mempertahankan agaknya benar adanya jika melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini.

Menurut Prof. Boediono, Wakil Presiden 2009-2014, seperti dikutip dari www.harianterbit.com, Kamis (6/8), ada dua tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan. Pertama adalah bagaimana membangun kapasitas bangsa ini untuk punya ketahanan yang kuat dalam arti bisa survive atau bertahan dalam melewati risiko dalam berbangsa dan bernegara.

Menurut tokoh kelahiran Blitar, 25 Februari 1943 itu, pembangunan atau  capaian dalam kesejahteraan rakyat terutama dalam pengentasan kemiskinan dan memajukan pendidikan harus berjalan dengan baik, jangan sampai ada langkah mundur. Adapun tantangan kedua, tambah mantan Gubernur Bank Indonesia (2008-2009), adalah harus fokus pada langkah-langkah yang diarahkan untuk memperkuat fondasi-fondasi jangka panjang dalam perjalanan bangsa dan negara ini. Ahli ekonomi UGM itu juga menyatakan wajar bila dalam perjalanan bangsa ini terdapat plus dan minus. "Terpenting meminimumkan minus dan menambah plusnya. Apa yang ada kita pelajari, kita kristalisasi menjadi pedoman ke masa depan”, ujar pria yang telah mengemban berbagai tugas sebagai menteri bidang ekonomi itu.

Tantangan yang diutarakan oleh Professor Boediono di atas tentu dilatar belakangi dari pengalamannya menjabat berbagai jabatan strategis di pemerintahan dan pengetahuannya sebagai seorang guru besar ilmu ekonomi. Menurutnya, usia 70 tahun bagi seorang manusia sudah dapat dikatakan masa uzur, tetapi bagi sebuah bangsa-negara usia itu masih dikatakan remaja. Justru dalam rentang usia seperti itulah yang akan menentukan apakah bangsa-negara itu akan bertahan sampai dengan ribuan tahun atau akan hilang ditelan sejarah.

Ketimpangan Yang Melebar

Salah satu tantangan yang muncul seperti yang dikatakan Boediono di atas adalah semakin memburuknya angka ketimpangan antara si Kaya dan si Miskin. Menurut Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, indeks ketimpangan saat ini adalah yang paling tinggi yang sejak 2010 tidak beranjak dari angka 0,41 persen.

Indeks Gini atau rasio Gini atau koefisien Gini adalah instrumen statistika, yang dirumuskan oleh Corrado Gini. Ia merupakan ahli statistika, sekaligus ahli sosiologi dari Italia. Rumusan tersebut, dipaparkan Corrado Gini pada tahun 1912. Ringkasnya, indeks Gini menampilkan indikator ketimpangan, ketidakmerataan, serta jurang antara mereka yang berkelebihan dengan mereka yang kurang berpunya dan tidak berpunya.

Secara kasat mata saja, tambah Basri, ketimpangan itu sudah terlihat dengan mudah  dengan semakin kontrasnya jarak kaya-miskin karena si kaya dengan arogan mempertontonkan kekayaannya. “Kesombongan perilaku pengguna moge (motor gede), mobil mewah berseliweran di jalan raya dan diparkir di depan pintu gerbang hotel dan mal, penggunaan jet pribadi, acara partai-partai di hotel mewah, mobil-mobil mewah dikawal polisi, pesta perkawinan, dan banyak lagi”, ujar Basri dalam tulisannya di forum kompasiana.com edisi 17 Agustus 2015 lalu.

Data yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Juni lalu, setidaknya dapat membantu kita melihat kondisi timpang yang telah diutarakan Faisal Basri di atas dengan semakin bertambahnya penduduk kaya. Dalam siaran tertulisnya di laman www.lps.go.id, untuk simpanan dengan nilai sampai dengan Rp 2 miliar, jumlah rekeningnya meningkat sebesar 6,26 persen MoM (month on month, perbandingan dari bulan ke bulan), dari 161.580.405 rekening pada Mei 2015 menjadi 171.688.847 rekening pada Juni 2015. Adapun untuk simpanan dengan nilai  di atas Rp. 2 miliar, jumlah  rekeningnya  meningkat  sebesar 1,27% MoM. Dari 214.052 rekening (Mei 2015) menjadi 216.762 rekening (Juni 2015). Sama halnya dengan jumlah nominal simpanan, meningkat  sebesar 2,70% MoM, dari Rp. 2.464.442 miliar (Mei  2015) menjadi Rp. 2.531.069 miliar (Juni 2015).

Sementara itu di sisi lain, pada periode yang sama jumlah penerima raskin pada Juni 2015 justru mengalami peningkatan dari 15,5 juta orang (2011) menjad 18,3 orang. Pemerintah berdalih peningkatan tersebut lebih dikarenakan ketidakcermatan pengukuran pada periode sebelumnya yang banyak didasarkan pada rumah tangga bukan keluarga (Kompas, 22 Juni 2015). Secara keseluruhan jumlah penduduk yang hidup miskin atau hampir miskin mencapai lebih dari 27 juta atau 10,96 dari total penduduk (data BPS September 2014). Lebih-lebih lagi jika mengikuti kategori Bank Dunia dengan memasukan penduduk yang pendapatan per harinya kurang dari 2 dollar Amerika Serikat, maka jumlah penduduk miskin itu jelas lebih tinggi lagi.

Situasi tersebut jika dibiarkan, menurut mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, dapat memicu ledakan dan gejolak sosial apalagi jika bertemu dengan faktor pemicu lain. "Rasio Gini ini sudah lampu kuning, sama dengan situasi sebelum meledaknya krisis 1997-1998," kata Chaniago, saat menghadiri pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional, di Palu, Sabtu (6/12/2014), seperti dikutip dari laman www.kompas.com edisi 8 Desember 2014.
Bahkan, lanjut Chaniago, di beberapa daerah memiliki indeks gini di atas rata-rata nasional. Dalam bidang pendidikan situasi yang dihadapi juga tidak lebih baik. Menurut catatan Kompas, Selasa (18/8), data Badan Pusat Statistik dan Pusat Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. Mereka tercerabut dari pendidikan karena kemiskinan, tinggal di daerah yang secara geografis sulit, atau terpaksa bekerja (Kompas, 11 Februari 2015).

Belum lagi bila melihat data Angka Partisipasi Murni berdasarkan provinsi, akan terlihat betapa anak-anak yang tinggal di provinsi di Indonesia timur tertinggal dari teman-temannya di belahan barat Indonesia. Contohnya, Angka Partisipasi Murni SMP/MTs sederajat di Papua Barat 63,31 persen, Gorontalo 70, 61 persen, Papua 62, 91 persen, dan Nusa Tenggara Timur 66,98 persen. Bandingkan dengan Angka Partisipasi Murni pada jenjang pendidikan serupa yang tertinggi di DKI Jakarta, 95,55 persen, Yogyakarta 92,01 persen, dan Sumatera Barat 87, 55 persen.

Angka partisipasi murni ialah jumlah anak pada kelompok usia tertentu yang sedang menempuh pendidikan sesuai jenjang usianya dibandingkan dengan jumlah seluruh anak pada kelompok usia itu. Intinya, itu menjadi ukuran proporsi anak yang menempuh pendidikan tepat waktu. Di dalam data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan yang dimaksud ialah sekolah, sekolah luar biasa, madrasah, pendidikan kesetaraan (paket), dan salafiyah.

Di Nusa Tenggara Timur angka putus sekolah dasar dan menengah pertama mencapai 6.800 orang per tahun. Penyebab putus sekolah lagi-lagi soal kemiskinan, infrastruktur buruk, dan kurangnya pemahaman akan arti penting pendidikan (Kompas, 8 Juni 2015).

Di pelosok  Papua,  keadaannya  tak  lebih baik. Ambil contoh di Lanny Jaya, Papua, seorang guru dari program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, Rani Situmeang (24), menghadapi kenyataan pahit. Muridnya di SMP 2 Tiom, sebagian masih belum bisa membaca dan menulis. Di Kabupaten Lanny Jaya, angka melek huruf hanya 36,93 persen pada tahun 2013 (Kompas, 9 Agustus 2015).

Ketimpangan seperti yang disebutkan di atas memang mengoyak nurani kebangsaan kita. Pengalaman negara-negara lain dapat membantu kita untuk memahami betapa berbahayanya penyakit ketimpangan tersebut. Negara semisal sebesar Amerika Serikat dan Brazil sampai dengan negara-negara kaya minyak di Timur Tengah  merasakan  betapa  ganasnya  gejolak  sosial yang diakibatkan oleh perbedaan pendapatan, kesejahteraan dan akses terhadap sumber daya antar penduduknya yang meluas itu.

Lebih dari itu, dengan semakin jauhnya jurang antara si kaya dan si miskin, antara mereka yang yang berada di perkotaan besar dengan mereka yang berada di perbatasan dan pulau-pulau terluar, dapat menggerogoti salah satu sendi ketahanan bangsa-negara, yaitu pemerataan hasil pembangunan. Cita-cita kemerdekaan yang dipancangkan para pendiri  bangsa, seperti “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan “memajukan kesejahteraan umum” dapat luruh dengan sekejap  jika kondisi  ini tidak  segera diperbaiki. Bahkan makna kemerdekaan dengan tidak adanya kemiskinan seperti yang lantang disuarakan  oleh  Bung  Karno,  tidak  ada maknanya sama sekali bila hal itu hanya dianggap sebagai persoalan elementer.

“Ayo Kerja”
Tantangan yang telah disebutkan di atas mencoba dijawab oleh pemerintah saat ini sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat hasil Pemilu 2014 melalui slogan kerja, kerja, kerja. Momentum peringatan kemerdekaan tahun ini pun digunakan untuk menyebarluaskan dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk bekerja memenuhi panggilan kebangsaan.

Setiap tahun seperti biasanya pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara, mengeluarkan tema peringatan hari ulang tahun kemerdekaan. Pada perayaan 70 tahun kemerdekaan ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo memancang tema peringatan dengan tagline “Ayo Kerja”. Kerja dan kerja memang digaungkan oleh presiden ketujuh itu dan pembantu-pembantunya untuk menjawab permasalahan bangsa yang sedang dan akan dihadapi. Bahkan kabinet yang dibentuk sejak akhir Oktober 2014 lalu pun dinamai dengan Kabinet Kerja.

Dalam rilis resminya, Kementerian Sekretariat Negara menekankan bahwa harapan dan cita-cita kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan kerja. Hanya melalui kerja sebuah bangsa akan meraih kemakmuran dan kejayaannya. “Hanya melalui kerja, bangsa Indonesia akan bisa membangun jiwa dan sekaligus membangun raganya untuk kejayaan Indonesia Raya. Hanya melalui kerja,  Republik  Indonesia  akan  dapat berdiri kokoh untuk selama-lamanya dan mampu mewujudkan semua cita-cita mulia yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,” ujar rilis tersebut.

Lebih lanjut, menurut pemerintah komitmen kerja sebagai modus perjuangan untuk mengisi kemerdekaan juga bukan slogan semata melainkan sebuah pergerakan. Pergerakan yang dimaksud adalah sebagaimana dikutip dari pernyataan presiden pertama RI, Ir. Soekarno “...pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan; pergerakan kita itu haruslah pada hakekatnya suatu pergerakan yang ingin mengubah sama sekali sifatnya masyarakat, suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat sampai kesulur-sulurnya dan akar-akarnya.” Komitmen tersebut juga senapas dengan komitmen pemerintah bahwa pergerakan yang ingin dibangun adalah pergerakan menjebol mentalitas bangsa yang berada dalam keterjajahan, ketertindasan, ketidakadilan, ketidak merdekaan serta membangun mentalitas baru sebagai bangsa yang merdeka 100 persen. “Itulah makna yang paling mendasar dari revolusi mental”, mengutip rilis tersebut pada akhir paragraf kelima, menegaskan komitmen yang sering digaungkan pasangan Jokowi-JK pada janji kampanye Pilpres lalu.

Mengikuti ajakan pemerintah, Ketua KPU Kabupaten Banyumas Unggul Warsiadi mengajak jajarannya juga untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih disiplin dan lebih dinamis. “Sesuai dengan dengan slogan pemerintah “Ayo Kerja” pada peringatan 70 tahun kemerdekaan RI ini, segala harapan dalam visi KPU itu hanya bisa dicapai dengan kerja. Ayo Kerja untuk bangsa! Ayo Kerja untuk negara! Ayo Kerja untuk rakyat!”, ujarnya pada Upacara Peringatan HUT Kemerdekaan RI di halaman kantor KPU Kabupaten Banyumas, Senin (17/8).

Butuh Implementasi
Slogan “Ayo Kerja” yang digaungkan di atas tidak memiliki arti apa-apa jika tidak diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh rakyat banyak. Janji pemerintah untuk membangun infrastruktur di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar juga patut diapresasi sembari terus mendorong agar hal tersebut secepatnya diwujudkan. Pemerataan pembangunan infrastruktur penting untuk memangkas kesenjangan pembangunan di wilyah-wilayah itu. Harapannya jika infrastruktur membaik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah minus itu dan pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan.

Pada lapangan pendidikan, implementasi kebijakan pemerataan pendidikan juga wajib didukung tidak hanya oleh pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Anggaran pendidikan dalam APBN maupun APBD yang sudah sedemikian besar hendaknya juga jangan dihabiskan untuk perbaikan fasilitas fisik saja tetapi hendaknya juga digunakan untuk peningkatan mutu pendidik.

Tugas suci untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan juga bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Seluruh elemen masyarakat juga harus tampil sebagai penggerak di komunitasnya masing-masing. Slogan “Ayo Kerja” itupun tidak hanya menjadi ajakan Presiden kepada menteri, gubernur, bupati, wali kota dan perangkat birokrasi, tetapi juga mengajak kepada seluruh warga bangsa agar terus bekerja sesuai kemampuannya masing-masing agar cita-cita suci kemerdekaan yang telah dipancangkan 70 tahun lalu dapat tercapai. Subhan Purno Aji dari berbagai sumber.

(Artikel News Letter "DERAP" KPU kabupaten Banyumas Edisi bulan Agustus 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper