Langsung ke konten utama

MASA SURAM DEMOKRASI INDONESIA

sumber: artikelbandem.blogspot.com

Bulan September, bisa dikatakan sebagai bulan bersejarah dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Ketegangan politik yang memuncak hingga tercetus G30S/PKI 1965 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa sistem demokrasi terpimpin yang dterapkan saat itu telah gagal membangun kehidupan demokrasi dan pembangunan dalam segala bidang. 

Demokrasi Terpimpin

Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

Pada waktu itu lebih kurang 40 (empat puluh) partai telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang demikian, tidaklah menambah suburnya sistem demokrasi di Indonesia. Kabinet-kabinet yang ada tidak pernah bertahan sampai dua tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru. 

Dalam peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai politik, sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Bahkan dalam nada pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi bangsa dan negara 

Keinginan presiden Soekarno untuk mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi dilakukan, namun pembatasan terhadap partai diberlakukan, dengan membiarkan sebanyak 10 partai politik tetap bertahan sebagaimana tersebut dalam Keppres No.128-129 tahun 1960 dan Keprres No. 440 tahun 1961, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam. 

Hal ini menambah besarnya gejolak baik dari internal partai yang dibubarkan maupun para tokoh-tokoh yang memperjuangkan “Demokrasi liberal” juga daerah-daerah tidak ketinggalan. Keadaan yang demikian akhirnya memaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi terpimpin” dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan. Gagasan “Demokrasi Terpimpin” dilontarkan Presiden Soekarno pada bulan Februari 1957. 

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
(1) Pembubaran Konstituante. 
(2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950 
(3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.

Suasana pembacaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
(Foto: 30 Tahun Indonesia Merdeka)
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.

Dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh Soekarno, ia dapat dikatakan menjadi titik pusat bagi keseimbangan politik Indonesia. Dekrit presiden merupakan pemberlakuan kembali kekuasaan presiden yang sesuai dengan UUD 1945 dimana presiden RI merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut, ia telah memulihkan posisi sentralnya dalam pemerintahan. Dekrit tersebut menandai sebuah masa baru bagi bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan tunggal Soekarno. Menurutnya, Indonesia memerlukan suatu sistem politik yang mencerminkan nilai-nilai Indonesia hingga tercapai suatu kesepakatan persatuan nasional yang dituntun oleh satu pemimpin. 

Dekrit Presiden Republik Indonesia ternyata berimplikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Pertama, tindakan tersebut mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri. Kedua, berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan berakhirnya pula periode pemerintahan oleh partai politik. Peranan parlemen perlahan beralih ketangan Presiden Soekarno. Hal ini ditandai dengan dibubarkannya Kabinet Djuanda (kabinet Karya pada 10 Juli 1959 dan pembentukan kabinet dengan presiden sebagai Perdana Menteri.  

Melalui konsep demokrasi terpimpinnya ia mencela demokrasi barat yang liberalistik yang menyebabkan ketidak stabilan politik dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu Soekarno ingin mengembalikan kewenangannya sebagai Presiden (dalam sistem presidensil) yang tak didapati dalam masa demokrasi parlementer.

Sebagai seorang tokoh sentral, Soekarno secara sederhana menyatakan peranannya sebagai sumber inspirasi nasional. Ia menganggap tugas dan kewajibannya hanya merumuskan garis-garis besar tujuan, sedangkan yang harus bertanggung jawab melaksanakan untuk mencapainya adalah orang lain. Untuk itu, Ia membangun alat perlengkapan yang terdiri dari lembaga-lembaga yang berfungsi untuk menopang suatu pemerintahan. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, Soekarno ingin secara khusus mengembangkan sebuah kepemimpinan dan pemerintahan  yang berlandaskan atas musyawarah. 

Soekarno menjadi pengambil inisiatif dalam membangun alat perlengkapan permusyawaratan dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang  pada  tahun 1960 terdiri dari  616 anggota. 

Selain  itu, sesuai dengan amanat UUD 1945, dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang dapat memberikan saran-saran untuk pengambilan kebijakan pemerintah. 

Pembentukan MPRS dan DPAS diumumkan tanggal 22 Juli 1959 dengan Penetapan Presiden No 2/1959 dan No 3/1959. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya. Pada awalnya DPR lama diharapkan dapat mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno, tetapi ternyata kemudian mereka menolak rencana anggaran belanja tahun 1960. 

Penolakan tersebut menyebabkan dikeluarkannya Pen-Pres no.3 tahun 1960 yang menyatakan pembubaran DPR hasil pemilihan umum tahun 1955. Kemudian pemerintah menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Para Anggota DPR GR ini dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.

Ia juga membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas untuk menyusun suatu pola pembangunan nasional semesta berencana. Depernas diketuai oleh Muhammad Yamin dan beranggota 76 orang. 

Selain lembaga-lembaga tersebut, ia membentuk suatu badan baru yang disebut sebagai Front Nasional. Front Nasional ini ingin digunakan Soekarno sebagai sebuah organisasi yang dapat mengerahkan dan menyalurkan pendapat dan keinginan massa. Front Nasional ini menjadi penghubung antara dirinya dengan seluruh rakyat.

Dalam waktu singkat sejak dikeluarkannya dekrit, Soekarno telah mengubah lembaga-lembaga politik di Indonesia agar berada dibawah kendali dirinya. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut semata-mata dilakukan untuk mengambil tanggung jawab kerja pemerintahan. Pengangkatan Juanda sebagai menteri pertama di dalam Kabinet Kerja yang menggantikan Kabinet Karya dilakukan agar Juanda dapat melakukan pekerjaan layaknya seorang Perdana Menteri yang mengawasi kinerja para menteri. 

Sementara itu, Soekarno, meneruskan fungsinya sebagai seorang kepala negara. Akan tetapi, pada masa ini berbeda dengan masa Demokrasi Liberal, ia sekarang mempunyai hak untuk ikut campur tangan dalam pemerintahan jika dianggap perlu. 

Manipol-USDEK
Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang isinya berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Manipol-USDEK adalah doktrin resmi yang dicetuskan oleh Soekarno sebagai suatu konsep politik yang harus diterima dan dijalankan dalam setiap aktifitas berbangsa dan bernegara. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka MPRS yang sudah tunduk pada Sukarno menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN dan wajib diperkenalkan disegala tingkat diharuskan mendukungnya.

sumber: comradegilang.wordpress.com
Keberadaan Manipol USDEK tersebut mengharuskan dilakukannya perombakan susunan lama kedalam susunan baru. Perombakan tersebut dikenal dengan istilah retooling – herordening dan konsolidasi serta koordinasi di semua lapangan. Ini juga yang menjadi dasar pembentukan badan-badan perlengkapan negara dibawah UUD 1945 seperti MPRS, DPAS, Depernas, Bapekan, DPRGR, Kabinet Kerja, Front Nasional. Ekonomi terpimpin dijalankan atas dasar pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Selain itu, dilakukan penyederhanaan kepartaian dan golongan karya. 

Untuk  melaksanakan  itu semua  tentunya Soekarno tidak bisa sendirian. Ia menyadari ada tiga kekuatan politik besar yang ada di Indonesia, yakni Nasionalis, Agama, dan Komunis. Nasakom merupakan kebangkitan kembali dari tulisan lamanya di masa pergerakan, “Nasionalisme, Islam, Marxisme.” Nasakom merupakan inti konsepsi pemikirannya pada masa Demokrasi Terpimpin. Ia menganggap bukan Nasakom melainkan dirinya sebagai tempat dari bertemunya berbagai ideologi tersebut untuk mencapai kesatuan nasional.

Soekarno sebenarnya tak pernah berafiliasi pada satu partai politik manapun. Sebagai tokoh yang terkenal dengan karakter penganjur kesatuan (solidarity maker) ambisi politiknya justru ingin mempersatukan ideologi-ideologi yang berbeda yang digunakan oleh partai politik sehingga dapat menghantarkan bangsa pada persatuan.

Dampak dari tidak berafiliasinya Soekarno pada partai politik adalah adanya upaya-upaya dari berbagai partai politik dan juga Militer untuk saling berlomba mendekati Soekarno kemudian berusaha mendapatkan kepercayaan dan kekuasaan. Hal tersebut dapat tercermin ketika semua partai politik dan militer pada 18 Mei 1963 dalam sidang MPRS mengangkat Soekarno menjadi Presiden seumur hidup. Penjelmaan dirinya sebagai orang yang memerintah diwujudkan dalam titel-titel yang diberikan kepada dirinya sendiri atau membolehkan MPRS menganugerahkannya seperti “Presiden Seumur Hidup”, “Mandataris MPRS”, “Pemimpin Besar Revolusi”, “Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat”. Soekarno menjadi pusat kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi pertanda ketergantungan partai politik (yang ikut dalam sistem Demokrasi terpimpin) pada Soekarno.
Selama “Demokrasi Terpimpin” dari 1959 sampai 1965, tidak ada pemilihan umum, sehingga tidak ada partisipasi politik warga negara dalam pemilihan wakil-wakilnya. 
Militer menjadi partisipan langsung dalam politik sedangkan Parlemen tidak lagi menjalankan negosiasi atau kompromi dalam setiap upaya mengatasi konflik politik. Dalam demokrasi Terpimpin, apabila tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka permasalahan itu diserahkan kepada Presiden sebagai pemimpin besar revolusi untuk diputuskan sendiri. Dengan demikian wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif tidak mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin. Disamping itu, efektivitas partai-partai politik tergantung bukan pada fungsi representasinya atau kapasitasnya untuk memformulasikan kebijakan tetapi lebih pada hubungan hubungan elit partai dengan pusat- pusat kekuasaan atau kemampuannya memobilisasi para pengikutnya di jalan. 

Peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai dan/atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah terjadinya ketidakstabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, partai politik tidak berfungsi, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat. 

Sistem demokrasi terpimpin yang diterapkan mengakibatkan timbulnya suatu sistem otoriter, sebab kekuasaan terpusat dan dengan kekuasaan seperti itu, Soekarno telah melakukan tindakan nondemokratis, hingga akhirnya Soekarno digulingkan oleh berbagai elemen yang dalam perjalanan sejarah demokrasi pasca Soekarno juga tidak demokratis.
Sari dari berbagai sumber.


(Artikel News Letter "DERAP" KPU kabupaten Banyumas Edisi bulan September 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper