Langsung ke konten utama
RISET KEPEMILUAN DI INDONESIA, APA MANFAATNYA BAGI KPU ?

Indonesia merupakan salah satu dari negara demokrasi terbesar di dunia, selain Amerika Serikat dan India. Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia mendapat kan catatan tersendiri bila dibandingkan dengan Pemilu di sejumlah negara.

Foto: Kompasiana.com

Bagaimana tidak, dari sisi sistem yang digunakan, Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional-multi partai, disana mengharuskan pembagian kursi dilakukan secara proporsional diantara partai-partai yang ada. Hal itu tentu lebih rumit dari sistem mayoritarian yang lebih simpel. Di tambah lagi dari sisi jumlah Pemilih yang mencapai 180 juta orang.

Pemilih di Indonesia pun sangat heterogen dari sisi agama, suku, dan budaya. Belum lagi dari bentangan wilayah yang berupa kepulauan. Tidak seperti Amerika Serikat dan India yang relatif memiliki bentangan alam berupa daratan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, sungai dan danau. Dari hal itu saja bisa dibayangkan bagaimana repotnya dalam tahapan pendistribusian logistik Pemilu ke seluruh pelosok tanah air dengan tepat waktu.
Selain itu, desain ketatanegaraan Indonesia juga mengharuskan banyak lembaga diisi melalui mekanisme Pemilu, dari legislatif mulai DPR, DPRD dan DPD sampai dengan eksekutif Presiden-Wakil Presiden. 

Jika dijumlah, lebih dari 180.000 kandidat berkompetisi untuk memperebutkan lebih dari 19.000 kursi yang tersebar di ratusan daerah pemilih di semua tingkatan. Selain Pemilu nasional, sejak 2005 Indonesia mengintrodusir UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepala daerah di provinsi/kabupaten/kota di pilih secara langsung. Pada kurun 2005-2013 tercatat telah diselenggarakan 1.026 Pilkada, artinya jika dirata-rata setiap tiga hari sekali ada Pilkada yang diselenggarakan di Indonesia. Maka tak berlebihan bila Indonesia disebut “negeri seribu Pemilu”. 

Oleh sebab itu, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dapat dikatakan sebagai Pemilu yang paling kompleks di dunia. Sigit Pamungkas, anggota KPU 2012-2017, pernah menyamakan negara dalam kondisi Pemilu dan negara dalam kondisi perang. Sebab sama seperti negara dalam kondisi perang, peristiwa Pemilu juga mengharuskan setiap elemen bangsa untuk terlibat dan mengerahkan segenap sumber daya yang dimiliki. Sayangnya, dengan pengalaman penyelenggaraan Pemilu tersebut, khazanah keilmuan tentang pemilu di Indonesia belum berkembang secara optimal.

Meskipun Indonesia telah beberapa kali melaksanakan Pemilu, tetapi evaluasi melalui kajian akademis dan riset jarang sekali dilakukan. Hal ini sangat disayangkan mengingat “keunikan” penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sangat menarik untuk dikaji secara akademik. Lantas bagaimana perkembangan keilmuan Pemilu di Indonesia saat ini? Dan apa langkah dari para peneliti, akademisi dan penyelenggara Pemilu untuk mengatasi hal ini?

Kesimpulan simposium para pengamat Pemilu yang diselenggarakan P2P-LIPI dan AEC tahun lalu riset kepemiluan di Indonesia belum berkembang secara optimal. Mereka menyatakan secara akademik studi kepemiluan di Indonesia sejak era orde lama memang banyak didominasi oleh para pengamat asing. Bahkan kajian tentang Pemilu pertama tahun 1955 masih merujuk pada karya klasik Herbert Feith, peneliti asal Australia. Studi yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java yang telah memetakan preferensi politik masyarakat Indonesia berdasarkan “aliran”, abangan, priyayi dan santri, telah banyak mempengaruhi studi kepemiluan di Indonesia, terutama yang menyangkut perilaku memilih. Bahkan studi yang terkait dengan Pemilu belakangan juga tidak bisa lepas dari kerangka Geertz.

Memang seiiring dengan dibukanya kebebasan akademik pasca orde baru, saat ini telah banyak studi yang mengkaji tentang persoalan demokrasi dan Pemilu di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para pengamat asing maupun pengamat Indonesia. Pada awal reformasi banyak pengkaji kepemiluan memfokuskan evaluasi atas Pemilu selama orde baru. Sejauh ini tema-tema yang muncul belakangan pun semakin beragam, mulai dari proses demokratisasi di Indonesia, kepartaian dan proses Pemilu itu sendiri. Tetapi masih jarang yang membahas secara khusus tentang tata kelola dari penyelenggaraan Pemilu.

Pengajar Ilmu politik dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ahmad Sabiq, menilai perkembangan studi kepemiluan telah banyak berkembang. Dia menilai kalau kita cermati sekarang ini sudah ada ratusan buku tentang pemilu karya intelektual negeri kita sendiri. Bahkan, diantara buku-buku tersebut juga terdapat karya kawan-kawan KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat sampai daerah yang menulis dan menerbitkan buku berbasiskan pengalaman mereka saat menjadi penyelenggara pemilu. Selain itu, terdapat pula LSM yang punya concern pada perbaikan pemilu, seperti CETRO (Centre of Electoral Reform) dan Perludem (Perkumpulan Untuk Demokrasi). Mereka sering melakukan riset dan advokasi untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik.

Di lain pihak, lanjut Sabiq, kehadiran lembaga-lembaga survei semacam LSI, Indo Barometer dan lain-lain juga memperkaya studi pemilu melalui analisis kuantitatif terhadap perilaku pemilih menggunakan survei opini publik. ”Ini artinya, studi kepemiluan saat ini bukan lagi hanya monopoli kalangan akademisi kampus, tapi sudah meluas. Kedepan tentunya perkembangan studi kepemiluan akan lebih menarik serta berprospek cerah”, katanya saat menjelaskan perkembangan tentang studi kepemiluan di Indonesia.

Optimisme pengajar mata kuliah teori partai politik dan Pemilu pada Jurusan Ilmu Politik Fisip Unsoed tersebut bukan tanpa alasan. Saat ini, lanjut Sabiq, para peneliti baik dari kampus, penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu serta LSM pemerhati Pemilu telah banyak menulis tema-tema yang menjadi permasalahan bersama terkait Pemilu di Indonesia, seperti partisipasi pemilih yang berkecenderungan menurun, politik uang yang masih masif, kurangnya pendidikan politik yang berakibat pada sikap permisif dan rendahnya tingkat melek politik masyarakat dan persoalan dalam tata kelola pemilu serta daftar pemilih yang masih bermasalah. “ Tema-tema itu tampaknya masih akan  menjadi tema-tema riset kepemiluan”, terangnya.

Ditanya tentang apakah hasil riset dari para akademisi/pengamat Pemilu telah dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan, Sabiq menuturkan jika selama ini hasil riset dari para peneliti tentang kepemiluan belum sepenuhnya dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan. “Sebetulnya banyak rekomendasi yang telah dihasilkan oleh para pakar kepemiluan termasuk dari intelektual-intelektual KPU sendiri yang telah diusulkan agar masuk dalam undang-undang, namun seringkali mentok.”, ujarnya.
Keprihatinan di atas memang tidak berlebihan. Para pembuat undang-undang seolah mengedepankan pertimbangan-pertimbangan politis daripada masukan dari pakar dan pemerhati Pemilu dalam memutuskan kebijakan kepemiluan. 

Pengamat Pemilu, Syamsuddin Harris, pada sebuah wawancara yang diunggah pada Laman Resmi ERI menyampaikan  akibat dari dominannya aspek politis dalam pengambilan kebijakan kepemiluan, yang terjadi adalah minimnya pilihan kebijakan yang diambil oleh DPR, KPU, Bawaslu atau para pemangku kepentingan lain untuk mengatasi banyaknya masalah dalam penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, menurutnya, dampak jika kebijakan tersebut telah diberlakukan adalah tidak sinkronnya antara kebutuhan peningkatan demokrasi dengan kualitas pemilu itu sendiri. “Sebagian pilihan kebijakan itu akhirnya tidak implementatif di lapangan”, ujar guru besar riset pada Pusat Penelitian Politik LIPI itu.

Dibentuknya ERI
Kegelisahan sebagian pemerhati pemilu di atas, nampaknya sedikit terjawab dengan berdirinya Electoral Research Institute (ERI) atau Institute Riset Kepemiluan. Kelahiran ERI ditandai dengan penandatanganan nota kesepakatan antara KPU dan LIPI. Penandatangan dilakukan oleh Ketua KPU Husni Kamil Manik dan Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain di Jakarta pada hari Senin, 2 3 Nopember 2014.

Tujuan dari kelahiran ERI, seperti dimuat dalam laman resminya, adalah menjadi lembaga riset rujukan yang menghasilkan kajian akademis secara berkesinambungan untuk mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu, pemerintahan hasil pemilu dan demokrasi substansial. Lembaga ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan kualitas pemilu di Indonesia.

ERI merupakan lembaga riset kepemiluan yang bersifat independen, non-partisan dan inklusif. Lembaga ini berbentuk konsorsium yang terdiri dari penyelenggara pemilu, akademisi, dan NGO kepemiluan serta perwakilan masyarakat yang yang peduli terhadap kepemiluan. ERI dirancang untuk mendukung KPU dan lembaga penyelenggara pemilu lainnya. Sebagai lembaga riset yang independen, non-partisan dan inklusif, ERI didukung para peneliti senior dari berbagai kalangan. Meskipun baru terbentuk akhir 2014 lalu, para pegiat ERI juga telah menerbitkan sejumlah hasil penelitian seperti, perilaku pemilih pemula dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2014 lalu.

Pada sambutan penandatanganan MoU antara KPU dan LIPI terkait pendirian ERI, Ketua KPU Husni Kamil Manik menyampaikan salah satu hal yang menjadi perhatian besar KPU adalah penelitian dan pengembangan di bidang kepemiluan terutama dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi dan tata kelola pemilu yang lebih baik di masa mendatang. Kita berharap dengan terbentuknya ERI dapat memberikan masukan dan memberikan alternatif kebijakan bagi para pengambil kebijakan termasuk juga penyelenggara Pemilu untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Riset Tentang Politik Uang
Mulai tahun 2015 ini KPU mulai menganggarkan riset kepemiluan di seluruh satkernya. Oleh sebab itu melalui DIPA tahun 2015, KPU Kabupaten Banyumas akan lakukan kegiatan riset tentang maraknya politik uang yang terjadi pada Pemilu 2014 lalu. Keputusan pemilihan tema tentang politik uang diputuskan dalam rapat yang dihadiri para komisioner, sekretaris dan para kasubbag di aula KPU, Selasa (21/4). 

Menurut Imam Arif Setiadi, M.Si kegiatan riset merupakan upaya KPU untuk mentradisikan kebijakan berbasis riset. Lebih lanjut, anggota yang membawahi divisi sosialisasi dan pendidikan pemilih ini menuturkan bahwa KPU telah menganggar-kan kegiatan riset diseluruh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia.

“Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu, tetapi lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan yang banyak diperdebatan, termasuk politik uang”, ujar Imam menjelaskan latar belakang KPU melaksanakan kegiatan riset. Imam juga mengatakan bahwa KPU RI telah memberikan pilihan beberapa tema yang menyangkut partisipasi dalam Pemilu. Selain tema tentang maraknya politik uang, KPU RI juga memberikan alternatif tema seperti kehadiran pemilih di TPS, tingkat melek politik pemilih, perilaku pemilih dan meningkatnya kesukarelaan pemilih dalam Pemilu. “Berdasarkan pertimbangan dari rekan-rekan komisioner yang lain kita akan coba kaji politik uang. Tema ini menarik untuk dikaji, sebab Pemilu 2014 lalu dianggap Pemilu yang paling brutal dalam soal money politic, tetapi sangat sedikit yang mencoba mengkajinya secara akademis”, tuturnya.

Untuk itu, KPU Kabupaten Banyumas akan menggandeng akademisi untuk melaksanakan riset tentang politik uang khususnya pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang lalu. Menurut Drs. Hirawan Danan Putra, M.Si, Sekretaris KPU Banyumas, pelibatan pihak ketiga selain telah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan riset dari KPU tetapi juga akan membuat hasil riset dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Dalam draft usulan penelitian yang disampaikan kepada KPU Kabupaten Banyumas Andi Ali Akbar Said, M.Si, selaku pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan riset, akan memfokuskan pada dinamika praktik politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Banyumas. Maraknya praktik politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 lalu, ditengarai karena di satu sisi partai politik dan para kandidiat cenderung menggunakan cara-cara instan dalam memperoleh dukungan pemilih, sementara di sisi lain pemilih cenderung memaknai politik uang sebagai sesuatu yang wajar.

Karena itu penting untuk melakukan riset guna memetakan dan menganalisis akar masalah munculnya logika uang dalam pemilu ini, baik dari sudut padang peserta pemilu terutama kandidat dan dari sudut pandang pemilih. Riset ini akan menjadi bahan kajian bagi penyelenggara pemilu guna mengembangkan kiat-kiat menata metode pemilu demokratis kita ke arah yang lebih berkualitas. Direncanakan riset ini akan dilakukan selama tiga bulan, dari Mei sampai dengan Juli. Diharapkan pada bulan Agustus sampai dengan September 2015 mendatang hasil riset sudah dapat dipublikasikan kepada masyarakat. (spa_)

(Artikel News Letter "DERAP KPU KABUPATEN BANYUMAS" edisi bulan April 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper