Langsung ke konten utama

WAWANCARA


STUDI KEPEMILUAN AKAN LEBIH MENARIK SERTA BERPROSPEK CERAH
 
Achmad Sabiq, MA
Riset kepemiluan sejauh ini belum menjadi dasar pada pembentukan kebijakan. Akibatnya banyak kebijakan kepemiluan belum menyelesaikan masalah-masalah laten yang terjadi pada setiap Pemilu, seperti carut-marut penyusunan daftar pemilih, mis-manajemen pengadaan dan distribusi logistik, dugaan penyelenggara pemilih yang partisan sampai dengan hasil Pemilu yang rawan digugat oleh peserta Pemilu. Sejauh mana perkembangan diskursus kepemiluan di tanah air, apakah sudah ada hubungan simbiosis antara riset pemerhati pemilu dengan penyelenggara Pemilu?  

Berikut ini petikan wawancara DERAP KPU KABUPATEN BANYUMAS dengan ACHMAD SABIQ, MA, staf pengajar pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unsoed.

Memang sudah banyak karya akademik yang membahas tentang Pemilu dan demokrasi di Indonesia, tetapi dari karya itu masih terbatas pada isu-isu demokrasi secara umum. Sayangnya karya-karya itupun masih didominasi oleh peneliti-peneliti asing, misalnya tentang Pemilu 1955 yang menulis justru Herbert Feith, orang Australia. Menurut bapak bagaimana itu bisa terjadi? Dan bagaimana perkembangan studi-studi kepemiluan di Indonesia serta prospek ke depan akan seperti apa? 
 
Tidak betul bahwa karya-karya tentang pemilu masih didominasi peneliti-peneliti asing. Kalau kita cermati sekarang ini ada ratusan buku tentang pemilu karya intelektual negeri kita sendiri. Bahkan, diantara buku-buku tersebut juga terdapat karya kawan-kawan KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat sampai daerah yang menulis dan menerbitkan buku berbasiskan pengalaman mereka saat menjadi penyelenggara pemilu. Selain itu, terdapat pula LSM yang punya concern pada perbaikan pemilu seperti CETRO dan Perludem. Mereka sering melakukan riset dan advokasi untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik. Kehadiran lembaga-lembaga survei semacam LSI, Indo Barometer dan lain-lain juga memperkaya studi pemilu melalui analisis kuantitatif terhadap perilaku pemilih menggunakan survei opini publik. Ini artinya, studi kepemiluan saat ini bukan lagi hanya monopoli kalangan akademisi kampus, tapi sudah meluas. Kedepan tentunya perkembangan studi kepemiluan akan lebih menarik serta berprospek cerah.

Sebagai akademisi yang mendalami isu-isu kepemiluan, tema apa saja yang saat ini sedang menjadi “tren akademik” dalam studi-studi kepemiluan di Indonesia? 

Sebenarnya tidak begitu terlihat apa yang disebut sebagai “tren akademik” tersebut. Tetapi persoalan-persoalan yang masih menggelayuti penyelenggaraan pemilu di Indonesia pasti akan terus menarik perhatian peneliti. Hal-hal seperti partisipasi pemilih yang berkecenderungan menurun, meski sempat naik sedikit dalam pileg lalu, politik uang yang masih masif, kurangnya pendidikan politik yang berakibat pada sikap permisif dan rendahnya tingkat melek politik masyarakat dan persoalan dalam tata kelola pemilu seperti daftar pemilih yang masih bermasalah tampaknya masih akan menjadi tema-tema riset kepemiluan.

Menurut pengamatan bapak, apakah selama ini hasil riset/kajian para akademisi khususnya dalam bidang kepemiluan sudah menjadi bahan masukan untuk para pengambil kebijakan penyelenggaraan Pemilu ? Lalu bagaimana upaya untuk melakukan link and match antara hasil kajian dari komunitas akademis dengan kebijakan para penyelenggara Pemilu?

Belum. Sebetulnya banyak rekomendasi yang telah dihasilkan oleh para pakar kepemiluan termasuk dari intelektual-intelektual KPU sendiri yang telah diusulkan agar masuk dalam undang-undang, namun seringkali mentok. Upaya KPU dan LIPI membentuk Electoral Research Institute (ERI) menurut saya bisa menjadi bentuk penjembatanan hasil kajian dari komunitas akademis dengan kebijakan para penyelenggara Pemilu.

Apa urgensinya hasil-hasil riset dari para akademisi dalam bidang kepemiluan untuk penyelenggaraan Pemilu, khususnya oleh KPU?

Yang jelas hasil-hasil riset kepemiluan tersebut sangat penting sebagai basis langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Khusus bagi KPU, hasil riset berguna untuk perbaikan tata kelola pemilu. 

Menurut bapak apa yang mungkin bisa dilakukan oleh KPU di daerah (kabupaten/kota) dan perguruan tinggi dalam pengembangan kajian kepemiluan?

Kedua institusi ini harus bersinergi. Perlu ada kolaborasi dalam kegiatan kajian kepemiluan yang melibatkan dua institusi ini. Langkah yang lebih maju sudah dimulai oleh sepuluh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang membuka program studi strata dua (S-2) bidang Tata Kelola Pemilu bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu. Menurut saya, program ini bisa menjadi tempat bertemunya para akademisi dan praktisi kepemiluan untuk saling berkontribusi mengembangkan studi kepemiluan.  Harapannya PTN di daerah lain termasuk Unsoed bisa segera pula membuka program serupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper