Dok. DetikNews |
Bulan Mei ini kita warga bangsa dan negara memperingati dua peristiwa penting yang secara kebetulan berurutan, yaitu tanggal 20 dan 21 Mei. Tanggal yang pertama secara luas diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, momen berdirinya organisasi pergerakan sosial modern pertama para priyayi Jawa, Boedi Oetomo (BO) pada 1908. Sementara tanggal yang kedua dicatat dalam sejarah sebagai hari dimana presiden kedua Indonesia, Soeharto, mundur setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, sekaligus dimulainya apa yang belakangan disebut Orde Reformasi.
Kedua peristiwa ini meskipun terentang waktu 90 tahun, tetapi memiliki benang merah yang hampir sama, yaitu adanya kesadaran untuk melakukan perubahan dari masa sebelumnya, semangat memutus masa lalu untuk masa depan yang lebih baik. Jika BO pergerakan pribumi pertama yang mengintrodusir strategi perjuangan baru untuk meraih kemerdekaan dengan jalan mengusahakan perluasan pendidikan kepada kelompok pribumi, maka gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa 90 tahun kemudian adalah menggulingkan dan meluruskan pemerintahan yang dinilai sudah melenceng dari amanat konstitusi. Perbedaannya gerakan yang dipelopori oleh BO baru memperoleh hasil lebih dari tiga dekade kemudian, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 1945, sedangkan buah dari demonstrasi besar-besaran mahasiswa pada 1998 yang menggulingkan Soeharto setidaknya sampai 15 tahun setelahnya, belum terlihat jelas hasilnya. Meskipun harus diakui bahwa banyak hal positif dari buah reformasi, tetapi jika ditilik secara substansial perjuangan reformasi belum memiliki “efek menetes ke bawah” untuk perbaikan “kesejahteraan umum dan keadilan bagi seluruh tumpah darah Indonesia”.
Secara akademik, peralihan kekuasaan orde baru yang otoriter itu pada dasarnya Indonesia sedang memasuki apa yang disebut dengan “masa transisi”. Transisi adalah awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim yang lebih demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan (instalasi) lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi (Eko, 2003).
Sayangnya, periode ini merupakan periode yang kritis bagi negara demokrasi baru. Umumnya pada masa ini dipenuhi banyak kemungkinan dan ketidakpastian disebabkan karena belum adanya aturan main (rule of the game) yang mengikat para aktor di satu sisi, sementara di sisi lain kekuasaan lama cenderung untuk merebut kembali hak-hak yang telah dinikmati sebelumnya. Oleh karena itu, periode transisinya tidak mesti berakhir manis dengan “konsolidasi demokrasi”, tetapi pada beberapa kasus justru akan terjerembab pada kondisi lebih buruk.
Pemilu dan Agenda Reformasi
Disebagian besar negara pasca-otoritarian, penyelenggaraan Pemilu hampir pasti menjadi jalan menuju pemerintahan baru. “Instalasi” untuk membentuk lembaga politik yang baru tersebut paling mungkin jika dilakukan melalui mekanisme Pemilu. Menurut Larry Diamond (2003), pakar ilmu perbandingan politik dari Stanford University, mengatakan bahwa Pemilu dilakukan untuk mengisi jabatan-jabatan penting negara. Menurutnya, Pemilu tersebut harus dijalankan secara netral melalui sebuah cara yang dapat menghapus kecurangan dalam pemungutan suara dan penghitungan suara, menjamin kerahasiaan kotak suara, memberi kemungkinan bagi semua orang dewasa untuk memilih, serta dapat menyelesaikan perselisihan dengan transparan. Singkatnya Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur dan adil.
Hal yang sama juga kurang lebih terjadi di Indonesia. Habibie yang didaulat sebagai pengganti Soeharto mendapati dirinya tidak memiliki dukungan yang kuat. Apalagi ada tekanan dari dunia internasional Indonesia harus segera melaksanakan Pemilu. Alhasil Habibie dan pimpinan MPR saat itu memutuskan untuk mempercepat penyelenggaraan Pemilu dari yang seharusnya dilaksanakan pada 2002 kemudian dimajukan menjadi Juni 1999, sehingga pemerintahan yang baru akan terbentuk paling lambat di awal tahun 2000.
Menurut catatan sejarah Pemilu 1999 seperti yang dikutip dari situs resmi KPU www.kpu.go.id, sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan paket RUU politik, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1999, anggotanya sebanyak 53 orang berasal dari wakil partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Hasil Pemilu 1999 dan Momen Perbaikan
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, dari 48 partai politik sebanyak 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Sampai harus diambil alih oleh Presiden Habibie sendiri. Komposisi keanggotaan KPU yang diisi orang-orang partai politik sebagaimana ditegaskan Pasal 8 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, menjadi bumerang atas pelaksanaan pemilu yang damai. Anggota KPU yang berasal dari partai politik gagal menetapkan hasil pemungutan suara tepat waktu, karena terjebak kepentingan masing-masing.
Peristiwa tersebut membuat banyak pihak termasuk kalangan MPR saat itu beranggapan bahwa
independensi KPU merupakan hal yang mutlak. Amanah reformasi untuk memperbaiki penyelenggaraan Pemilu yang tidak jujur dan adil ternyata membutuhkan kondisi-kondisi untuk menciptakannya. Persoalan tersebut kemudian mempengaruhi sikap dalam memandang KPU yang independen. Seperti yang dicatat oleh Yulianto dkk (2010) dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), perubahan pandangan tersebut mengemuka dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) pada Oktober 1999. Pandangan MPR yang tertuang dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Bab IV tentang Arah Kebijakan huruf C angka 1.h. menyebutkan “menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara independen dan non-partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004.”
Lebih lanjut, ketetapan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pasal 8 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2000 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non partisan. Tanggal 9 Nopember 2001, SU-MPR mengesahkan Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 22E ayat (5)
menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Klausula
tentang penyelenggara pemilu yang bersifat “mandiri” merupakan jawaban
atas trauma Pemilu 1999. Alhasil KPU kedua dibentuk dengan Keppres Nomor
10 Tahun 2001 pada masa kepresidenan KH Abdurahman Wahid, anggotanya
berjumlah 11 orang berasal dari para akademisi dan aktivis LSM yang
dipandang non-partisan dan independen.
“Keberhasilan penyelenggara Pemilu tidak hanya diukur dari hasil Pemilu yaitu terpilihnya para kandidat terpilih yang memiliki legitimasi kuat tetapi juga pada proses penyelenggaraannya.”
Dok. Jambiekspres |
Perbaikan Demi Perbaikan
Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2004 memberikan optimisme publik terhadap KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Satu pelajaran kembali dapat dipetik dari penyelenggaraan Pemilu 2004, yaitu keberhasilan penyelenggara Pemilu tidak hanya diukur dari hasil Pemilu yaitu terpilihnya para kandidat terpilih yang memiliki legitimasi kuat tetapi juga pada proses penyelenggaraannya. Pemilu 2004 yang menghasilkan DPR, DPD dan DPRD serta presiden pilihan langsung ternyata dicederai oleh sebagian anggota KPU yang tersangkut kasus hukum.
Kondisi di atas mempengaruhi pandangan publik tentang penyelenggara Pemilu, bahwa faktor independesi dan non-partisan saja tidak cukup untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu. Lantas bagaimana wujud ideal penyelenggara Pemilu?. Menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance/IDEA (2006), setidaknya ada tujuh prinsip yang berlaku umum untuk menjamin penyelenggara Pemilu yang memiliki kredibilitas dan legitimasi, yaitu independence (independen), impartiality (berimbang/tidak-memihak), integrity (terpercaya), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesional) dan service-mindedness (mengutamakan pelayanan).
- Independen atau “bebas, mandiri atau merdeka”, artinya penyelenggara pemilu bebas dari intervensi/tekanan pihak manapun, seperti pemerintah, partai politik dan pihak lain dalam pengambilan keputusan.
- Imparsialitas dimaknai sebagai perlakuan yang sama, tidak memihak, dan adil sehingga tidak memberikan keuntungan pihak lain.
- Integritas secara singkat diartikan sebagai kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, antara kata dan laku. Integritas menentukan penyelenggara Pemilu mendapatkan kepercayaan atau tidak dari pihak lain. Integritas mempunyai dua level, yaitu individu dan institusi.
- Transparansi atau keterbukaan secara umum diartikan sebagai memberikan informasi secara cukup, akurat, dan tepat waktu perihal kebijakan publik dan proses pembentukannya kepada khalayak.
- Efisiensi mempunyai arti menggunakan sumber daya sekecil mungkin untuk mencapai tujuan sebanyak-banyaknya. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, hendaknya mereka menggunakan anggaran secara bijak.
- Profesionalisme adalah Pemilu harus dikelola oleh kelompok khusus/ orang yang memiliki keahlian, terlatih dan berdedikasi. Kelompok yang memiliki keahlian terdiri dari para ahli dan mampu mengelola serta melaksanakan penyelenggaraan pemilu.
- Mengutamakan-pelayanan mengandung makna untuk memberikan pelayanan kepada stakeholders, baik masyarakat maupun peserta pemilu. Penyelenggara pemilu harus mengembangkan dan mempublikasikan standar pelayanan untuk setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu di atas sama dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, tiga tahun setelah penyelenggaraan Pemilu 2004 DPR menginisiasi RUU tentang penyelenggara Pemilu, yaitu mengatur khusus tentang penyelenggara Pemilu yang sebelumnya tercecer dalam beberapa UU, untuk kemudian disatukan dalam UU tersendiri. UU tersebut telah mengatur secara detail tentang penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Legislatif dan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Hadirnya UU Nomor 22 tahun 2007 mulai mengintrodusir Badan Pengawas Pemilu sebagai lembaga yang tetap di tingkat nasional. Meskipun pada awalnya mempunyai kewenangan yang terbatas dalam hal pengawasan, akhirnya MK mengabulkan kewenangan penuh Bawaslu untuk melakukan pengawasan, termasuk dalam hal perekrutan Panwaslu di tingkat Kabupaten/Kota yang awalnya masih melekat pada KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, UU tersebut juga memberikan kewenangan yang tegas kepada seluruh penyelenggara Pemilu ad hoc seperti PPK, PPS, KPPS, Panwaslu serta PPL.
Dengan pemberlakuan UU Nomor 11 tahun 2015 terdapat penyempurnaan dengan hadirnya lembaga baru yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki kewenangan untuk memutus sengketa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Lembaga ini hadir sebagai koreksi UU sebelumnya dan pengalaman banyaknya pelanggaran kode etik para penyelenggara Pemilu. Kecuali itu, Bawaslu juga diperkuat secara kelembagaan sampai dengan level provinsi sehingga di setiap provinsi memiliki struktur Bawaslu yang tetap tidak lagi ad hoc dan memiliki kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris jenderal.
Di tengah tuntutan terhadap perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia, KPU pun dituntut untuk selalu melakukan perbaikan ke depan. Tantangan yang dihadapi oleh KPU diantaranya adalah tuntutan untuk menyelenggarakan yang semakin sederhana dan efisien, merebaknya praktik politik uang dan menjaga kepercayaan publik terhadap KPU. (spa_a)
Sumber:
- Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy: Toward Consolidation (Terj.). IRE: Yogyakarta
- Eko, Sutoro. 2003. “Pelajaran Konsolidasi Demokrasi untuk Indonesia”. Pengantar Dalam Developing Democracy: Toward Consolidation.
- Yulianto, dkk. 2010. Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Penyelenggara Pemilu. KRHN: Jakarta
- Sumber lain
Komentar
Posting Komentar