Langsung ke konten utama

RESENSI BUKU

LIBERALISASI SUARA: POLITIK UANG PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014

Oleh: Subhan Purno Aji

 

“Siraman uang ke para pemilih lebih efektif daripada siraman rohani...”
Pernyataan bernada satir itu disampaikan oleh seorang Caleg PKS di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 lalu (hlm. 171). Banyak pihak yang beranggapan bahwa Pileg 2014 sarat dengan praktik jual-beli suara, bahkan politik uang pada Pileg 2014 dikatakan yang paling massif (Prof. Jimly Asshidiqy/DKPP), praktik politik uang yang paling brutal (Akbar Faisal/NasDem), dan terjadi lebih masif, vulgar, dan brutal dibandingkan pemilu terdahulu' (Kemitraan).


PURWOKERTO, DERAP - Meski praktik-praktik politik uang tersebut sangat terasa sepanjang perhelatan bangsa lima tahunan itu, tetapi bukan perkara mudah untuk menjelaskannya, apalagi sampai menindak para pelakunya.  

Buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014” berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana para caleg/kandidat memenangkan Pemilu, mengapa ada caleg yang berhasil meraih kursi yang lain gagal? Strategi apa yang digunakan? Lalu lebih jauh, bagaimana para kandidat menggunakan uang, materi atau jaringan? Seberapa efektif cara-cara itu? Lantas bagaimana para pemilih memaknai?. Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu terpapar sepanjang lebih dari 500 halaman, oleh karenanya buku ini dapat dikatakan memberikan deskripsi tebal (thick description) tentang Pemilu sebagai “praktik” demokrasi di Indonesia, khususnya tentang patronase, klientelisme dan politik uang pada Pileg lalu. Buku yang dieditori oleh Edward Aspinall, Profesor Ilmu Politik Australian National University, Australia, dan Mada Sukmajati, pengajar pasca-sarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, sejauh pengetahuan Saya merupakan pertama-dan paling komprehensif- yang mengulas praktik politik sepanjang Pemilu 2014. Buku tidak hanya mengisi ruang kosong dalam kajian politik dan demokrasi di Indonesia yang selama ini lebih banyak menyoroti pola, tren dan kinerja partai politik tetapi buku ini juga memberikan perspektif yang tidak tunggal tentang fenomena politik uang yang selama ini lebih banyak didekati dalam perspektif yuridis-formal. 

Oleh karena itu, tak dapat disangkal buku ini menawarkan cara pandang “dari bawah” bagaimana politik uang dirancang, diorganisir dan dioperasikan oleh para caleg dan tim sukses para kandidat di lapangan menjelang pemungutan suara 9 April 2014. Cara pandang tersebut dihasilkan dari penelitian intensif dari para peneliti yang tersebar di 22 tempat di seluruh Indonesia, sehingga membuatnya kaya akan data empiris dan faktual. Buku yang diterbitkan oleh Research Center of Politics and Government (PolGov) UGM ini sebagian besar dilakukan pada masa kampanye, periode tahapan pemilu yang memberikan kesempatan para kandidat untuk berinteraksi dengan para pemilih mereka. 

Pengambilan data dilakukan melalui metode wawancara mendalam (indepth interview) dan pembayangan (shadowing), yang memungkinkan para peneliti melihat dan mendengar langsung interaksi para kandidat dan timnya dengan para pemilih di lapangan di hari-hari paling krusial dalam penyelenggaraan Pileg 2014 lalu. Maka tak mengherankan di sepanjang buku ini tersaji istilah-istilah yang khas untuk menggambarkan dalam dan masifnya fenomana politik uang, seperti “wani piro”, “sabetan”, “uang sangu”, “uang transport” dan beragam istilah lainnya.

Untuk menghindari banyaknya pemaknaan atas politik uang, Editor buku buku ini menggunakan istilah patronase dan klientelisme, seperti yang termuat dalam sub-judulnya, tujuannya agar tujuan dari buku ini tidak terjebak pada suatu tindakan tertentu. Istilah ini dipilih untuk mewakili metode yang digunakan oleh hampir semua kandidat untuk meraih dukungan pemilih sebanyak-banyaknya. Kedua istilah ini lazim digunakan oleh para pengamat politik dalam studi komparatif di belahan dunia lain, umumnya dinegara yang demokrasinya masih muda, seperti Asia Timur, Afrika dan Amerika Latin. Adapun patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung (h.32). Pembelian suara (vote buying), pemberian barang-barang kepada kelompok-kelompok tertentu (club goods), penyediaan beragam pelayanan sosial sampai dengan pemanfaat dana publik untuk kepentingan mendapatkan dukungan pemilih atau politik gentong babi (pork barrel) merupakan bentuk-bentuk dari patronase. Sedangkan klientelisme adalah relasi kekuasaan yang personalistik dan keuntungan material ditukar dengan dukungan politik (h. 32). Operasionalisasi dari klientalisme yang diuraikan dalam buku ini adalah penggunaan jaringan perantara (broker) untuk menjembatani para kandidat dengan pemilih mereka, atau banyak yang menyebut dengan “tim sukses”. Oleh karenanya, tujuan buku ini adalah “untuk melihat bentuk-bentuk patronase yang didistribusikan oleh para kandidat. Selain itu ... bagaimana mekanisme jaringan, dan teknik yang digunakan para kandidat” (h.7).

Contoh dari Cirebon: Dari Personalistik ke Materialistik
Seperti dikebanyakan tempat lain, wilayah Kabupaten Cirebon merupakan “tempat pertarungan” yang keras dan cenderung kasar dalam perhelatan Pileg lalu (hlm. 294-328). Bagaimana tidak, dalam penelitian yang dilakukan salah satu kontributor buku ini, Marzuki Wahid, dilaporkan bahwa seorang kandidat anggota DPRD Kabupaten terkejut ketika mendapati perolehan suaranya di TPS terdekat ternyata jauh dari yang diharapkan, bahkan kalah jauh dari perolehan suara kandidat lain yang berdomisili di luar desa dan kecamatannya. Yang menyentak, menurut kandidat itu, pemilih di sekitar TPS-nya adalah kebanyakan saudara dan tetangganya, hasilnya tak sebanding dengan jerih payahnya menyapa dari rumah ke rumah pada masa kampanye sebelumnya. Ia kecewa mengapa para saudara dan tetangganya itu tidak memilihnya, padahal ia lahir, tumbuh dan besar di kampungnya. Menurut pengamatannya suaranya digembosi oleh kandidat lain dikarenakan praktik “serangan fajar” (vote buying) menjelang pemungutan suara. Diungkapkannya juga kandidat lain berani membayar pemilih dengan harga 75 ribu per kepala.
 
Fenomena di Kabupaten Cirebon menjelaskan betapa patronase dan klientalistik yang bersifat materialistik (pemberian uang, layanan kesehatan, bantuan barang mie instan, kue bolu, sarung dll) lebih dapat menarik perhatian pemilih dari pada patronase dan klientalisme personal (hubungan keluarga, tetangga dan pesona personal calon). Maka tak heran muncul frase-frase yang unik, misalnya NPWP (Nomer Pira, Wani Pira), uang es (nominal kecil sekan hanya untuk membeli es) dan “ana duit, ya milih” (ada uang, ya akan memilih) untuk menggambarkan betapa berkuasanya kekuatan finansial dalam pemenangan seorang kandidat.
 
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena politik uang pada Pemilu 2014 lalu tak ubahnya “pasar bebas” yang menempatkan para pemilih seperti penjual suara (vote seller) dan berusaha menawar harga setinggi mungkin. Sedangkan para kandidat ditempatkan seperti para pembeli (vote buyer) yang berusaha menarik pembeli dengan harga tanpa batas: Liberalisasi Suara.
 
Membaca keseluruhan buku ini rasanya kita akan mengerinyitkan dahi, sebab apa yang disampaikan oleh para kontributor di masing-masing wilayah penelitian menggambar fakta yang selama ini sering menjadi bahan yang sedikit “tabu” untuk diungkapkan. Melalui buku ini kita seolah disadarkan betapa bahayanya politik uang dengan berbagai macam jenis yang menggerogoti hak paling dasar dalam sistem demokrasi modern: hak untuk dipilih dan memilih. Jika hanya orang-orang yang memiliki finansial saja yang menjadi pemenang, maka tak dapat disangkal demokrasi yang dijunjung tinggi akan menjadi kleptokrasi utawa pemerintahan para maling. Pasalnya, jika demokrasi hanya digerakan oleh “mesin uang” saja tanpa kesadaran adi luhung, baik pemilih maupun yang dipilih, untuk merawat demokrasi itu sendiri, maka tak ayal akan berlaku adagium “the survival of the fittest”, yang bertahan adalah mereka yang paling kuat, ya.. mereka yang punya uang, seperti frasa penting dari Cirebon “Nomer Pira, Wani Pira”.

Judul             : Politik Uang di Indonesia, Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014
Editor            : Edward Aspinall dan Mada Sukmajati
Penerbit        : PolGov Fisipol UGM Yogyakarta
Tahun terbit : Januari 2015
Jumlah hlm.  : xvii + 562

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper