Langsung ke konten utama

WAWANCARA

PEMILU SARANA SUKSESI YANG DEMOKRATIS, KONSTITUSIONAL DAN DAMAI


Evolusi penyelenggara tentu menyiratkan bahwa kelembagaan penyelenggara pemilu mengalami dinamika sejak runtuhnya orde baru. Dinamika tersebut seiiring dengan perkembangan tuntutan untuk menyelenggarakan Pemilu yang demokratis, jujur dan adil. 

 

PURWOKERTO, DERAP - Sejauh mana perkembangan reformasi demokrasi di tanah air, apakah penyelenggaraan Pemilu sudah memenuhi amanat reformasi dan agenda konsolidasi demokrasi ? Berikut ini petikan wawancara DERAP KPU KABUPATEN BANYUMAS dengan ANDI ALI SAID AKBAR, S.IP, MA, staf pengajar pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unsoed.

Mei 2015 ini kita memperingati 17 tahun reformasi. Menurut bapak apakah amanat-amanat reformasi tahun 1998 sudah terpenuhi? 
Belum sepenuhnya tercapai cita-cita reformasi tersebut. Secara umum, dalam perkembangan demokratisasi pasca Orba, negara kita telah berhasil membangun dasar bekerjanya struktur demokrasi sebagai aturan main bersama dalam berpolitik, berbangsa dan bernegara.
 
Struktur demokrasi ditandai adanya penguatan presidensialisme, pemilu yang Luber Jurdil, sistem multipartai, kebebasan pers, supremasi hukum, penghormatan atas HAM dan giatnya desentralisasi tingkat daerah dan otonomi desa. Setidaknya struktur demokrasi ini memiliki fungsi penting karena memberi landasan operasional dan kesempatan bagi bekerjanya proses check and balances berbagai kekuatan politik di Indonesia.
 
Berbagai peristiwa dan isu yang membawa demokrasi kita kearah yang salah akan mendapatkan wacana dan kekuatan tandingan dari kekuatan lain. Proses ini kelak akan semakin mendewasakan demokrasi kita.
Peta-nya adalah struktur demokrasi ini belum banyak diikuti oleh menguatnya kultur demokrasi. Dimana demokrasi mewujud dalam berbagai aktivitas yang menjunjung tinggi norma demokrasi. Demokrasi yang diharapkan menghasilkan kepemimpinan yang memberi teladan. Kemudian tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berintegritas.  

Demokrasi kita masih setia dihantui persoalan kuatnya oligarki di partai politik, kampanye ilegal dalam pemilu (black campaign dan money politic), tingginya angka korupsi, kesenjangan ekonomi, miskinnya prestasi dan inovasi pemimpin politik di daerah dan sebagainya.
 
Penyebab gejala ini setidaknya bisa didekati salahsatunya dengan melihat kualitas pengelolaan partai politiknya. Penampilan Partai di Indonesia masih direlungi krisis. Institusi ini masih dinilai oleh publik sekedar menjalankan fungsi prosedural demokrasi yaitu menjadi kendaraan bagi politisi untuk mencalonkan diri dan mengikuti pemilu.
 
Lebih memilih mengakar kepada negara daripada ke publik, Partai belum banyak berkontribusi bagi fungsi-fungsi partai yang lain seperti: demokratisasi internal partai, peningkatan kapasitas kandidat, memberi visi inovatif bagi jalannya pemerintahan, dan menjadi mediator atas isu yang meresahkan publik.

Namun demikian, optimisme tetap ada mengingat terdapatnya eksperimen terbatas dari partai politik yang mulai membuka diri terhadap urgensi reformasi partai dan menyimak animo publik.
Sikap jenuh dan skeptis publik terhadap partai mulai dijawab dengan menghadirkan calon-calon pemimpin muda yang visioner dan berintegritas. Mulai melonggarkan personalisasi dan oligarki elit. Mudah-mudahan semangat ini terus terpupuk dimasa yang akan datang.

Salah satu agenda reformasi 1998 adalah demokratisasi kehidupan politik dengan penyelenggaraan Pemilu yang jurdil. Menurut bapak apakah dengan empat kali penyelenggaraan Pemilu (1999, 2004, 2009 dan 2014) sudah memenuhi yang menjadi amanat reformasi tersebut?
Pemilu sangat penting bagi demokrasi karena menjadi sarana suksesi yang demokratis, konstitusional dan damai. Pemilu juga sebagai sarana evaluasi dan protes rakyat kepada partai politik dan pemerintahnya.
Sebagaimana dialami berbagai negara yang menjadikan pemilu sebagai jalan mengakhiri rezim otoriter terjadi di Brazil, India, Peru, Uruguay, Argentina, Turki, Korea, Pakistan, Cile, Soviet, Polandia, Nikaragua, Myanmar dan Aljazair (Sigit Pamungkas Dalam Huntington, 2009).
 
Pemilu berkualitas memiliki 3 syarat: peserta pemilu yang berintegritas, penyelenggara pemilu yang berintegritas serta pemilih yang juga berintegritas.

Banyak pihak menilai Pemilu di Indonesia telah berjalan stabil dan lancar tapi kurang berkualitas. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Machfud MD, di Indonesia terdapat fenomena bertolak belakang: Negara Demokratis, Politisi  Oligarkis, Rakyat Apatis.
 
Dari pemilu ke Pemilu di Indonesia semakin mendorong partai meningkatkan daya saing dan loyalitas pemilihnya. Adanya aturan Peningkatan electoral threshold, penerapan proporsional daftar terbuka, pemurnian presidensialisme, tingginya angka swing voters, fluktuasi partisipasi pemilih merupakan daftar gejala politik yang harus segera dikelola oleh partai politik.
 
Pertama, integritas peserta pemilu. sikap partai menghadapi gejala tersebut diatas tidak semuanya mencoba cara yang lebih terhormat dan mencerdaskan. Kuatnya praktek oligarki dalam kandidasi, money politik, kampanye hitam, gagal memenuhi quota 30 % perempuan di dapil masih menjangkiti partai hingga kini.
Dari pemilu 2009 hingga 2014, praktek money politic dan kampanye hitam semakin massif, sengketa hasil pemilu juga meningkat drastis. Ini sisi negatif yang harus dihadapi penyelenggara pemilu dan pemilih.
 
Kedua, integritas penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu bekerja semakin baik. Terlihat dari minimnya kesalahan tehnis dalam tiap tahap dan proses pemilu. Pada pemilu nasional 2014 kemarin, penyelenggara pemilu juga berhasil membuat berbagai kiat-kiat memajukan integritas pemilu.
Kiat berupa daftar pemilih tambahan khusus, larangan membawa HP ke bilik suara, zonasi APK, lembar C1 yg dikirim on line, merupakan daftar kebijakan yang berupaya meningkatkan kedaulatan pemilih menunaikan hak pilihnya dan kemudahan dalam melakukan pengawasan proses pemungutan suara.    
 
Ketiga, integritas pemilih. kita masih butuh kerja keras meningkatkan partisipasi pemilih yang cenderung menurun. Disaat yang sama gerakan penyadaran dan pencerdasan pemilih masih sangat penting ditengah ketatnya spektrum kompetisi partai dan kandidat. Berbagai metode instan dan tidak mendidik memperoleh suara pemilih hanya bisa diatasi oleh penguatan kesadaran pemilih.

Demokratisasi memang telah berjalan cukup jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya, misalnya ditandai dengan Pemilihan langsung kepala daerah sejak 2005. Apakah hal itu dapat menjadi parameter dari apa yang disebut “konsolidasi demokrasi”?
Konsolidasi politik berbicara mengenai berbagai macam peraturan dan bentuk organisasi yang dapat menjamin pertanggungjawaban penguasa terhadap warga negara, serta memenuhi kriteria kesepakatan bersama di antara para politisi dan juga memperoleh persetujuan dari rakyat. Dalam prakteknya terdapat masalah utama yakni bagaimana menciptakan aturan main dalam persaingan dan kerjasama yang dapat ditaati secara aktif oleh para politikus, dan diterima secara pasif (dan perlahan-lahan) oleh rakyat, meskipun dengan solusi-solusi yang mungkin sangat beragam.
 
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya bahwa demokrasi kita termasuk lancar dan stabil dari sisi prosedur namun masih rendah dalam kualitas kepemimpinan dan tata kelola pemerintahanya.
Mari kita simak temuan Riset DEMOS (2005) menunjukkan kehadiran elit oligarkhis yang menyesuaikan diri dengan metode demokrasi. Strateginya:
A. Beradaptasi (75% menggunakan dan menyalahgunakannya;
     14% mempromosikan demokrasi) ;
B. Memonopoli jabatan
    (Jalur legislative 61%);
C. Memanipulasi proses demokrasi (mendayagunakan sumberdaya publik 10 %; Membeli dukungan suara (13%); Penggunaan cara otoritarian (15%); Mengerahkan massa (8%) dan memanipulasi sentimen etnik/agama (12%) .

Nampaknya temuan ini tercermin dari buruknya kinerja kader partai politik di pemerintahan. Sejak reformasi terdapat sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sejak 2004 hingga Februari 2013. sedikitnya 291 kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota terlibat dalam kasus korupsi. (Info Korupsi.com. Diakses Senin, 3 Juni 2013).
 
Oleh karena itu, agenda konsolidasi politik dimasa yang akan datang tentunya masih sangat banyak. Diantaranya mendorong negara, partai politik dan masyarakat mengambil bagian menciptakan demokrasi yang berkualitas dengan ukuran tata kelola pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada rakyat.
Negara melalui hubungan pusat dan daerah membuat kontrol yang ketat atas pelaksanaan pemerintahan dan otonomi daerah. Partai politik harus berani mereformasi diri jika tidak ingin terlupakan dalam benak publik atau terpenjara dalam siklus politik kotor. Penyelenggara pemilu membangun kiat-kiat yang semakin melindungi kedaulatan pemilih dan kredibitas hokum hasil pemilu. Terakhir masyarakat agar semakin menyadari pentingnya menjadi pemilih aktif dan cerdas sebagai jalan terbaik daripada golput. Kemudian menjadi pemilih yang aktif menagih janji politisi.

Dari sisi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia selama ini apa yang masih perlu diperbaiki agar amanat reformasi dapat terpenuhi?

Terdapat beberapa hal yang masih perlu diperbaiki. Seperti dari sisi peserta pemilu, pada tahap verifikasi parpol masih ada parpol yang belum siap infrastruktur sekretariat partai terutama di tingkat kabupaten dan kecamatan. Kemudian sulitnya memenuhi quota 30% perempuan di tiap dapil. Masih adanya caleg yang belum memahami aturan tekhnis kampanye.

Dari sisi penyelenggara terdapat beberapa hal juga seperti masih rumitnya pengintegrasian dan pemutakhiran data pemilih, sumberdaya PPS dan KPPS yang masih terdapat kesalahan dalam membuat dokumen C1, logistik pemilu yang masih tertukar, lamban dan sulitnya penanganan kasus dugaan pelanggaran pemilu.
 
Sementara dari sisi pemerintah masalah klasik yang masih terjadi adalah minim dan lambannya dukungan dana dan fasilitas bagi kelancaran kerja penyelenggara pemilu. Desk Pilkada belum terlihat memainkan peran penting dalam menjembatani pemerintah dan penyelenggara pemilu dalam menyukseskan jalannya tahapan-tahapan pemilu.

“Oleh karena itu, agenda konsolidasi politik dimasa yang akan datang tentunya masih sangat banyak. Diantaranya mendorong negara, partai politik dan masyarakat mengambil bagian menciptakan demokrasi yang berkualitas dengan ukuran tata kelola pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada rakyat.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Anggota KPU Kabupaten Banyumas Periode 2013-2018

UNGGUL WARSIADI, SH., MH lahir di Kebumen, 30 Oktober 1962, dipercaya menggantikan Aan Rohaeni, SH sebagai Ketua KPU Kabupaten Banyumas. Alumnus FH Undip ini merupakan salah satu dari tiga anggota KPU Kabupaten Banyumas yang terpilih kembali untuk masa bakti 2013-2018. Suami dari Ir. Hidayah Dwiyanti, M.Si ini berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unsoed, maka tak heran untuk periode ini masih dipercaya untuk membawahi divisi hukum, pengawasan, umum dan rumah tangga. Sebelum menjadi anggota KPU Kabupaten Banyumas tahun 2008, ayah dari Gumintang dan Galang ini sudah lama berkiprah dalam dunia kepemiluan. Pada Pemilu 1999, Unggul sudah menjadi anggota Panwascam Purwokerto Utara dan pada pemilu 2004 menjadi Ketua PPK Purwokerto Utara. Sebagai penanggung jawab divisi pengawasan, Unggul selalu menekankan jajaran KPU Kabupatan Banyumas untuk selalu bersikap tidak memihak dan berlaku adil kepada semua peserta pemilu dan rakyat pemilih. “Sebagai penyelenggara harus tetap menjaga warwa

SEKILAS TENTANG PERJALANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA MASA PRA-KEMERDEKAAN

Perjalanan partai politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berdampak sangat penting dengan kemunculan elit terdidik pribumi.  Kelompok inilah yang memiliki kesadaran akan pentingnya organisasi sebagai wadah pergerakan nasional. Pada 1908 berdiri Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu diikuti oleh Sarekat Islam pada 1911 (sebetulnya pada 1908 juga telah berdiri Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia di negeri Belanda). BU dan SI tidak secara terang menyebut dirinya sebagai organisasi politik, tetapi memiliki program-program dan aktifitas politis. Hal ini karena undang-undang kolonial Belanda saat itu melarang pendirian organisasi dan perkumpulan politik. BU dan SI semakin terlibat dalam aktifitas politik setelah keduanya masuk dalam lembaga Volksraad (dewan rakyat) yang didirikan pada 1916. Di lembaga ini, wakil-wakil organisasi ini tergabung dalam r

Apa yang dilakukan KPU setelah Pemilu selesai?

Masyarakat seringkali bertanya, “ apa pekerjaan KPU setelah Pemilu selesai ?”. Lalu jika jawabannya masih dirasa kurang memenuhi rasa ingin tahu ditambah mungkin dengan nada sedikit sinis,”berarti KPU makan gaji buta ya?”.  Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar mengingat selama ini kebanyakan orang memahami Pemilu hanya sebatas proses dimana para calon yang akan duduk di jabatan-jabatan publik kemudian merebut simpati pemilih melalui kampanye, lalu para pemilih datang ke TPS menggunakan hak pilihnya kemudian dihitung suaranya, yang memperoleh suara terbanyak dialah yang terpilih. Atau malah ada yang menganggap kalau Pemilu itu hanya orang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya, suaranya dihitung tinggal siapa yang menang. Dalam anggapan tersebut berarti tugas KPU hanya menyiapkan para petugas di TPS, menyiapkan sarananya, menghitung suara dari para pemilih dan menetapkan pemenang. Selesai.  Rapat Progam dan Anggaran 2015 Celakanya kondisi tersebut diper